CATATAN AKHIR TAHUN 2022 AMAN Kaltim

ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA – KALIMANTAN TIMUR

“MASYARAKAT ADAT DI KAWASAN IBU KOTA NUSANTARA TERANCAM PUNAH OLEH PEMBANGUNAN IKN DAN PERLUASAN PERIZINAN PERUSAHAAN PERUSAK WILAYAH ADAT”

30 Desember 2022, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Timur memiliki catatan buruk pemerintah terhadap Masyarakat Adat di Kalimantan Timur. Sejak Kalimantan Timur di umumkan pada tanggal 17 Agustus 2019 sebagai Ibu Kota Negara Nusantara Masyarakat Adat di Kaltim semakin terhimpit ruang hidup dalam segala sector penghidupan sehari-hari di tambah Masyarakat Adat mengalami dilema serta was-was terhadap nasib mereka kedepannya sebab tidak ada kepastian hukum terhadap wilayah adat dan hak atas wilayah adat dan tanah yang mereka miliki.

Ketua BPH. Aman Kaltim Saiduani Nyuk menyampaikan Masyarakat Adat saat ini kondisi masyarakat adat sangat tragis sebab tidak ada kepastian hukum yang di berikan Negara kepada masyarakat adat, Kalimantan Timur di angap pemerintah ruang kosong yang bisa di eksploitasi sebagai ruang produksi Penghasil Cuan dan Tempat Kawasan Pembangunan Nasional bagi Negara sehingga mengabaikan hak-hak masyarakat adat. 9 Poin Catatan Penting Aman Kaltim

  1. Pemerintah menetapkan Kaltim sebagai IKN secara sepihak di wilayah adat masyarakat adat tidak melibatkan masyarakat adat terdampak yang memiliki wilayah adat secara turun temurun di kawasan inti IKN dalam menyusun kebijakan
  2. Sejak Kaltim di tetapkan sebagai Lokasi Ibu Kota Negara Nusantara tidak ada upaya dari Pemerintah melakukan percepatan pengakuan dan perlindungan masyarakat Adat
  3. Aman Kaltim mencatat hanya kurang lebih 7.722. HA tahun 2018 SK Bupati Paser, Hema Beniung 48,85 ha di Kutai Barat jadi di total Hanya total 7.770 Hektar Wilayah Adat yang di akui Negara secara resmi dari total luas wilayah adminitrasi Kalimantan Timur 127.347 Km
  4. Sejak di tetapkannya Lokasi IKN di Wilayah Adat yang di kuasai izin Perusahaan HTI. PT. ITCI KU dan IHM. Masyarakat Adat mengalami intimidasi oleh perusahaan yang diberi izin diwilayah masyarakat adat, Masyarakat Adat di larang mengakses kebun-kebun serta berladang di ancam di tankap dan di penjara, sehingga masyarakat adat tidak bisa berladang namun tidak diberikan solusi keberlanjutan hidup masyarakat adat, Pemilik Izin Perusahaan HTI, justru memperluas izin lokasi sehingga masyarakat adat terhimpit tidak memiliki akses lagi ke hutan yang turun-temurun yang mereka kelola
  5. Pemerintah Provinsi Kalimantan timur, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara abai terhadap Peraturan Menteri dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 serta Perda Kaltim No.1 Tahun 2015 tentang pedoman pengakuan dan perindungan masyarakat adat sehingga sampai saat ini tidak menerbitkan peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di wilayah administrasinya
  6. Pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Wilayah Masyarakat Adat penuh dengan paksaan dan intimidasi bahkan situs-situs bersejarah Masyarakat Adat di rusak dan di gusur paksa oleh pembangunan IKN
  7. Di Wilayah Adat Masyarakat adat di Kawasan IKN di bagi-bagi oleh oknum pemerintah maupun oknum Premanisme secara brutal
  8. Kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat adat di sekitar perizinan diberikan oleh Negara kepada oligargi/perusahaan perusak wilayah adat terus terjadi semakin meningkat
  9. Pemerintah mengobral tanah-tanah yang ada di lokasi IKN kepada Investor baik kepada Pengusaha Lokal Maupun Asing.

Perampasan Wilayah Adat semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir,  indikatornya terjadi dengan bertambahnya perizinan perusahaan masuk dalam wilayah-wilayah adat antara lain HTI, Pengelolaan hutan alam, perkebunan dan pertambangan semakin meluas baik yang legal maupun tidak berizin. Aman Kaltim mencatat satu tahun terakhir sejak Kalimantan timur di tetapkan sebagai ibu kota Negara. Dari 74 komunitas anggota aman kaltim tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan timur kerap melaporkan ada perampasan tanah secara sepihak oleh Negara mapun perusahaan pemegang izin yang di berikan oleh Negara di wilayah adat, antara lain, komunitas adat suku balik Sepaku, Pemaluan, Maridan, Mentawir, Riko di Kabupaten Penajam Paser Utara, Komunitas Adat, Jonggon Basab, Kutai Adat Lawas Kedang Ipil, Kutai Lampong, Kutai Adat Indu Anjat Perian Kabupaten Kutai Kartanegara juga melaporkan kepada Aman Kaltim mendapatkan ancaman-ancaman kriminalisasi dari perusahaan HTI PT. Ichi Hutani Manunggal (IHM). Melarang masyarakat ada mengakses mengelola wilayah adat dengan alasan PT. IHM mendapatkan izin perluasan izin lokasi, Aman Kaltim menduga disebabkan adanya tukar guling lahan antara Pemerintah dengan perusahaan di lokasi IKN, sehingga Perusahaan memperluas lahan dan mengorbankan wilayah masyarakat adat di sekitar IKN. Sehingga masyarakat adat di larang melaksanakan tradisi adat berladang untuk menyambung hidup sehari-hari sebagai ketahanan pangan masyarakat adat.

Wilayah Adat Luas WA (Hektar)
Basap Jonggon   112.160
Kedang Ipil     16.660
Maridan       8.268
Mentawir     29.299
Pemaluan     27.828
Putak       1.345
Sepaku     40.108
Total 235.667

 

 

Zonasi IKN Luas (Hektar)
Kawasan IKN     49.859
Kawasan Inti Pusat Pemerintahan       6.925
Kawasan Perluasan IKN   197.420
Total   254.204

Dari Total Kawasan IKN 252.204 ha Zonasi Ibu Kota Nusantara terdapat wilayah adat seluas 235.667 Ha yang harus dikorbankan untuk IKN.

Kriminalisasi dan Intimidasi Masyarakat Adat

Pada tahun 2021-2023 rentang waktu 2 tahun Dalam penanganan kasus antara perizinan perusahaan dan masyarakat adat, posisi masyarakat pemilik wilayah adat secara turun temurun termasuk hak atas tanah selalu kalah dan takluk oleh perusahaan di karena apartur Negara serta aparat keamanan selalu menjadi alat perusahaan dalam merampas tanah adat, salah satu cara pemanggilan paksa hingga ancaman penetapan tersangka salah satu cara modus dalam pembungkaman masyarakat adat dan merebut paksa tanah oleh perusahaan,  memakai aparat keamanan Kapolisian dan TNI. Untuk mengintimidasi masyarakat di wilayah adat, kerap terjadi melakukan upaya kriminalisasi terhadap masyarakat adat berjuang wilayah adatnya, pada 30 Januari 2021 tiga tokoh adat Komunitas Adat Dayak Long Way di Desa Long Bentuk Kecamatan Busang Kabupaten Kutai Timur, Kepala Adat Daut Luwing, Sekretaris Adat Beng Lui dan Dewan Adat Daerah Kaltim Elisason  di jemput paksa oleh Aparat yang berpihak pada perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Subur Abadi Wana Agung(SAWA)

Masyarakat Adat Bentian juga mengalami hal yang sama 2 orang masyarakat adat di tangkap oleh aparat kepolisian Kutai Barat di karenakan  mempejuangkan hak waris tanah turun-temurun milik keluarganya yang di gusur paksa oleh Perusahaan PT. Borneo Citra Persada Jaya di ponis hakim 3 tahun penjara  di tuduh melakukan pengrusakan tenda perusahaan yang di pasang saat menggusur, namun saat ini pihak yang disangkakan masih dalam proses banding di pengadilan Kutai Barat, PT. BCPJ. Kerap melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat adat terdapat tahun 2017 juga melakukan hal yang sama 2 orang di penjara.

Dari sekian banyak kasus Kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat adat di Kalimantan timur yang tercatat oleh aman kaltim saat ini hanya sebagian terkecil yang melapor kepada Aman kaltim sampai proses pengadilan ada beberapa kasus yang tidak terjangkau oleh aman dihingga masyarakat adat menjadi korban, modus-modus kriminalisasi terhadap masyarakat adat dengan di beking oleh aparat Negara ini membuktikan bahwa Negara di bawah pemerintahan Jokowi lemah dan tunduk pada Korporasi/perusahaan perusak wilayah adat, serta pemerintah tidak berpihak pada masyarakat adat di suatu wilayah, Negara masih melihat Kalimantan Timur dan khususnya wilayah-wilayah masyarakat adat yang di kelola secara turun temurun sebagai ruang kosong yang di kuasai Negara semaunya tampa mempertimbangkan masyarat adat dan budaya kearifan lokal suatu daerah.

RESOLUSI MUSYAWARAH III WILAYAH PENGURUS DAERAH ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (PW AMAN) KALIMANTAN TIMUR

RESOLUSI MUSYAWARAH III WILAYAH
PENGURUS DAERAH ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA
(PW AMAN) KALIMANTAN TIMUR
Samarinda, 1 – 2 September 2022

Pada tanggal 1- 2 September 2022, telah dilaksanakan Musyawarah Wilayah (Muswil) III AMAN Kalimantan Timur, di Samarinda yang dihadiri oleh komunitas-komunitas dan Pengurus Daerah dari AMAN Kubar, AMAN Paser dan AMAN Penajam Paser Utara serta beberapa organisasi sayap seperti Perempuan AMAN, Bawe Paser, Barisan Pemuda Adat Kabupaten Penajam Paser Utara. Selain itu, Muswil III AMAN Kaltim juga dihadiri oleh utusan dari PB AMAN dan beberapa organisasi pendukung Gerakan Masyarakat Adat yang ada di Kalimantan Timur.

Kami, adalah Masyarakat Adat di Kalimantan Timur, laki-laki dan perempuan, yang mendiami Wilayah Adat kami masing-masing, yang mewarisi hak untuk memiliki, mengatur dan mengurus diri sendiri, hak untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan adat, agama dan kepercayaan leluhur, upacara-upacara adat sesuai dengan identitas budaya, nilai-nilai luhur dan pengetahuan asli yang terkandung di dalam sistem adat berdasarkan hak asal-usul/hak tradisional kami masing-masing. Wilayah-wilayah adat kami memiliki hutan-hutan, sungai dan sumber daya alam terbaik yang kami jaga sesuai dengan hukum adat dan pengetahuan tradisional kami, secara turun temurun. Kami menyatakan bahwa, selama ini kami mampu mengelola dan menjaga sumber daya kami secara berkelanjutan. Hubungan antara alam sebagai ibu bumi sebagai sumber kehidupan, dengan kami sebagai penjaga alam demi masa depan anak cucu, merupakan suatu fakta yang tak terbantahkan. Bahkan selama Pandemi Covid-19, Kami telah membuktikan bahwa Masyarakat Adat adalah penjaga terakhir ketersediaan sumber-sumber pangan, melalui lumbung-lumbung pangan di wilayahnya masing-masing.

Kami masyarakat Adat di Kalimantan Timur sudah menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan selama berpuluh-puluh tahun. Pengambil alihan wilayah adat secara paksa oleh pemerintah melalui penerbitan izin-izin konsesi dan proyek infrastruktur lainnya tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat telah mengakibatkan semakin tergerusnya keberadaan Masyarakat Adat di bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik di Kalimantan Timur.

Hal ini semakin diperparah dengan adanya pemindahan IKN diikuti dengan pengesahan UU No.3 tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) makin memperburuk situasi Masyarakat Adat di Kalimantan Timur, khususnya di Kab.Penajam Paser Utara, Kab.Paser dan Kab.Kutai Barat yang telah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan IKN. Wilayah yang akan dijadikan lokasi IKN baru tersebut adalah daerah-daerah yang sudah menjadi tempat hidup Masyarakat Adat secara turun temurun. Pasca penetapan UU IKN telah dilakukan dilakukan pemasangan patok-patok diatas wilayah adat meliputi kebun, ladang dan rumah warga Masyarakat Adat khususnya di Kab.Penajam Paser Utara yang masuk dalam Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN tanpa adanya persetujuan dari Masyarakat Adat. Pada sisi yang lain, UU IKN dan Peraturan turunannya, secara substansi tidak mengakomodir pengakuan dan perlindungan hak-hak kami sebagai Masyarakat Adat, bahkan menjadi alat legitimasi untuk merampas ruang hidup dan penghidupan kami.



Tidak adanya Klausul Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Masyarakat Adat dalam UU IKN beserta Peraturan turunannya yang operasional dan absennya UU Masyarakat Adat dan Peraturan Daerah yang seharusnya menjadi prioritas Pemerintah untuk memastikan pengakuan dan perlindungan hak-hak kami, membuat keberadaan kami sebagai Masyarakat Adat menjadi semakin terancam karena tidak memiliki jaminan hukum tidak saja membuat kami kehilangan akses terhadap wilayah adat kami sendiri tetapi juga sekaligus menempatkan kami pada ketidakpastian masa depan karena tidak adanya wilayah baru yang bisa menjadi tempat hidup kami secara memadai seperti sedia kala.

Oleh sebab itu, kami, Masyarakat Adat yang hadir dalam Muswil III AMAN Kaltim, menyerukan hal-hal sebagai berikut :

  1. Mendesak pemerintah untuk menghentikan seluruh proses pembangunan proyek IKN sebelum adanya jaminan hukum penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat.
  2. Mendesak pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan konflik atas hak-hak komunitas Masyarakat Adat termasuk wilayah adat.
  3. Kami mendesak Presiden dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi Masyarakat Adat, yang menyediakan suatu prosedur sederhana, murah, dan punya legitimasi dalam melaksanakan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat atas wilayah adatnya beserta hak asal-usul atau hak-hak tradisional lainnya.
  4. Kami mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur untuk segera membentuk kebijakan daerah pengakuan Masyarakat Adat di wilayahnya beserta hak asal-usulnya, termasuk hak atas wilayah adatnya.
  5. Kami mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk segera melakukan upaya-upaya percepatan implementasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 atau Putusan MK35 tentang Hutan Adat, sehingga kami dapat mengoptimalkan peran kami dalam mengelola dan menjaga hutan dan wilayah adat serta sumber-sumber pengetahuan di dalamnya.
  6. Mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur untuk segera melaksanakan Permendagri No. 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
  7. Mendesak pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk segera melaksanakan Perda Propinsi Kaltim No.1 tahun 2015 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
  8. Mendesak POLRI dan TNI untuk menghentikan segala bentuk intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan serta berbagai bentuk pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat, para pembela Masyarakat Adat yang berjuang mempertahankan haknya, termasuk hak-hak kami sebagai peladang tradisional. Sebaliknya POLRI dan TNI harus mengutamakan perlindungan terhadap Masyarakat Adat, secara khusus perempuan dan anak. Selanjutnya kami mendesak agar Institusi POLRI dan TNI menindak tegas anggotanya yang melakukan tindakan pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat.
  9. Mendorong Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melakukan pemberdayaan serta bekerjasama dengan Masyarakat Adat dalam pengelolaan sumber daya alam, hutan adat dan wilayah adat, serta budaya, sesuai potensi di masing-masing Komunitas Masyarakat Adat sebagai upaya peningkatan sumber-sumber ekonomi masyarakat.

    Sebagai penutup dari Resolusi ini, sekali lagi kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuat langkah-langkah yang kongkrit untuk memastikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak kami sebagai Masyarakat Adat di Kalimantan Timur, khususnya di lokasi IKN.

    Kami Masyarakat Adat Kalimantan Timur bersedia bekerjasama dengan Pemerintah dan semua pihak yang relevan untuk mencapai pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Adat di daerah kami.

    Disepakati bersama oleh seluruh peserta Muswil III, AMAN Kaltim
    Samarinda, 2 September 2022

Bukan Memfasilitasi Mediasi, Polisi Malah Panggil Masyarakat Adat Long Bentuk Saat Lakukan Aksi Menuntut Perusahaan

Pihak Kepolisian saat mendatangi warga dilokasi aksi

Alih – Alih memfasilitasi mediasi antara Masyarakat Adat Long Bentuk dengan PT.  SAWA.  Aparat  kepolisian memanggil warga yang melakukan aksi menuntut perusahaan untuk mengembalikan hak – hak mereka yang digusur paksa,  serta denda adat yang mereka ajukan atas tidakan pelanggaran adat oleh perusahaan.

Aksi blokade jalan yang dilakukan Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai di Long Bentuk, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur, kaltim berbutut pemanggilan oleh pihak kepolisian (08/02/2021)

Masyarakat Adat Long Bentuk dipanggil pihak kepolisian setelah aksi menutup jalan akses perusahaan yang berada di wilayah adat mereka sebagai bentuk kekecewaan terhadap perusahaan yang tidak merespon tuntutan meraka atas Denda Adat dan mengembalikan wilayah adat mereka yang digusur paksa oleh PT. SAWA.

Pemanggilan dilakukan langsung oleh Polsek Muara Encalong di lokasi tempat mereka melakukan aksi.

Merespon atas pemanggilan pihak kepolisian ini Beng Lui, Tokoh Adat Long Bentuk menyatakan  “Saya ndak tau ya, bukan karena mereka tidak tau peraturan. Kalau kita bicara posisi aturan kan tentu mereka paham kita tidak di pihak yang salah, kenapa pihak yang kita anggap salah tidak mereka panggil tidak mereka proses. Kok pihak kita yang menuntut malah yang diproses. Jadi harapan kami sebenarnya, Kami ini kan hanya mau polisi itu mendesak perusahaan agar membuat pertemuan, pertemuannya dimana, di TKP atau dikatakan lokasinya di Long Bentuk bukan di Sangatta, karena ini juga kami tidak mau lagi terulang kembali seperti tahun 2015, dimana Long Bentuk diserang dan tidak diberi kesempatan untuk memberikan jawaban atas kasus ini. Itu kita sudah trauma tidak mau lagi kami dengan cara seperti itu. Kita pikir kan pemerintah itu netral tapi ternyata tidak.” Paparnya.

Beng Lui juga menjelaskan bahwa Portal ini merupakan salah satu bentuk alat komunikasi Masyarakat Adat Long Bentuk dengan perusahaan komunikasi yang selalu kearah jalan buntu. Dalam beberapa kali, Surat yang mereka kirim ke perusahaan tidak mendapat respon . apalagi hingga terjadi pertemuan.

Salah satu surat pemanggilan pihak kepolisian yang ditujukan ke Beng Lui

“Jadi aksi ini kan salah satu alat kami untuk berbicara kepada perusahaan agar perusahaan mau duduk bersama, nah karena itu ada aksi, lalu yang kedua, setelah beberapa hari kita aksi muncul surat pemanggilan Polres datang langsung ke lokasi aksi warga, dan kita tolak. Yang mengantarkan komandan  Polsek Muara Encalong. Setelah surat itu, harusnya surat pemanggilan berikutnya pada hari rabu. Tapi kemarin sore sudah datang lagi surat pemanggilan kedua dan kami tetap tolak.”Papar Beng Lui

Pemanggilan pihak kepolisian terhadap Komunitas Adat Modang Long Way ini sangat disayangkan Radus, Biro Advokasi AMAN Kaltim “Tindakan pemanggikan atas aksi warga oleh pihak kepolisian ini bisa mengkerdilkan semangat dan akan mematikan perjuangan masyarakat untuk memperjuangkan hak – hak mereka yang selama ini telah oleh pengusaha melalui perijinan sehingga pada  perjuangan – perjuangan berikutnya, orang akan berfikir untuk memperjungkan haknya sebagai masyarakat adat. Maka dalam sisi perjungan ini akan menjadi pressure terhadap masyarakat.”

“Pihak aparat harusnya mengadakan mediasi karena ada ketentuan dimana pihak kepolisian wajib melakukan mediasi, masalah ini awalnya adalah kasus perdata atau tuntutan perdata masyarakat, jadi pihak kepolisian harusnya melakukan mediasi terlebih dahulu.” Tegas Radius