Pelatihan Paralegal Untuk CSO dan Masyarakat Adat di Kaltim

M.Muhdar, Prakarsa Borneo yang merupakan salah satu fasilitator pada Pelatihan Paralegal untuk CSO dan Masyarakat Adat Kaltim.

Kaltim.aman.or.id Pelatihan paralegal diselenggarakan oleh Prakarsa Borneo mulai dari 20 hingga 21 Februari 2019 di Hotel Midtown, Samarinda dengan mengundang CSO (Civil Society Organization) dan juga perwakilan masyarakat adat dan masyarakat lokal di Samarinda.

Pelatihan ini sendiri bertujuan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat dalam proses kebijakan hingga pendampingan hukum terhadap masyarakat.

Pendampingan terhadap masyarakat bisa menjadi lemah jika CSO dan rekan pendamping di masyarakat tidak memiliki kapasitas dibidang hukum dan juga peraturan, baik itu ditingkat nasional maupun ditingkat daerah terkait kasus yang dihadapi.

Terkait undang – undang dan peraturan negara yang dibahas dalam pelatihan ini, M. Muhdar selaku fasilitator memaparkan “Tidak semua peraturan negara bisa memenuhi keinginan masyarakatnya sehingga perlu ada aturan- aturan yang memang terdapat di Masyarakat.”Kata Muhdar.

Menurut mudah bahwa hukum dibuat bukan cuma untuk ketertiban tapi juga harus bisa mensejahterakan masyarakat.

Pelatihan yang berlangsung selama dua hari ini diakhiri dengan praktek penulisan kronologis kasus serta pembentukan tim paralegal kaltim yang diberi nama Kapak Borneo. Nantinya tim paralegal ini diharapkan bisa membantu masyarakat.

GAH ETENG DAN SEJARAH TURUNYA DAYAK KENYAH DI MAHAKAM

Kaltim.aman.or.id Gah Eteng merupakan salah satu tempat yang terdapat di Sungai Alan, Kampung Long Bagun, Kabupaten Mahakam Ulu.

Bagi Masyarakat Adat Long Bagun Ulu, Gah Eteng bukan hanya sekedar tempat dimana sungai alan mengalir deras di tempat ini, tapi Gah Eteng menyimpan sejarah penting asal mula perjanjian komunitas adat ini dengan Adat Dayak Kenyah yang datang jauh dari Apo/Apau Kayan hingga hadir di Wilayah Adat Long Bagun dan di tempat lain pada Das Mahakam

Hadirnya Komunitas Dayak Kenyah di Wilayah Adat Long Bagun memiliki sejarah panjang hingga komunitas ini banyak tersebar di beberapa kampung di daerah DAS Mahakam jauh dari asal mereka di Apo/Apau Kayan.

Nama Gah sendiri dalam bahasa Dayak Bahau Busang Umaq Wak berarti aliran sungai yang deras dan Eteng merupakan nama seorang dari komunitas adat Dayak yang jauh di Kalteng yang meninggal di tempat ini saat memimpin tujuh orang rekanya mencari malau di Wilayah Adat Long bagun.

Dimasa lalu di sebelum ada kampung lain disekitar Wilayah Adat Long Bagun Ulu hanya dikenal Kampung Long Bagun yang sebelumnya bernama Lirung Bok Dom. pada masa itu masa pada era kolonialisme Belanda dan masih dalam pemerintahan Kerajaan Kutai di beberapa wilayah di kaltim sehingga Belanda sendiri memiliki pos keamanan di Long Iram dengan pimpinan selevel camat ditugaskan belanda di Long Iram.

Eteng sendiri merupakan korban kayau yang saat itu marak dilakukan karena salah satu tradisi adat. Beradasarkan sejarah di komunitas, keberadaan Eteng dan beberapa anggotanya di Wilayah Adat Long Bagun untuk mencari malau yang merupakan bahan perekat dalam membuat perahu dan beberapa perekat untuk alat lain. termasuk untuk mandau yang merupakan senjata tradisional suku – suku di Kalimantan. Kejadian ini terjadi pada masa Kolonialisme Belanda di Nusantara.

Awal mula kejadian terjadi saat Masyarakat Adat di Long Bagun Ulu sedang melakukan kegiatan adat naik padi baru dengan membuat Emping. Saat warga sedang berkumpul di lamin untuk membuat emping, Rombongan Eteng datang ke Kamin Long Bagun dari tempat mereka yang jauh di kalteng meminta ijin untuk mencari Malau di Wilayah Adat Long Bagun Ulu. Kepala Adat Long Bagun Ulu pada waktu itu Liah Ding sempat memperingatkan rombongan ini untuk jangan dulu masuk ke Hutan Long Bagun karena warga sedang melakukan ritual adat padi baru takut Kepuhunan. akan tetapi Eteng sebagai pimpinan group menyakinkan Liah Ding bahwa pantangan di Kampung Long Bagun tidak akan berdampak pada kelompoknya dengan dalik mereka merupakan Dayak dari Kalteng yang berbeda komunitas dari Masyarakat Adat di Long Bagun.

Kemudian Eteng bersama rombonganya terus masuk ke dalam hutan Long Bagun untuk mencari malau yang dimulai dari muara Sungai Payang.

Sejak masuk Muara Sungai Payang, Eteng bersama rombongannya telah diincar oleh para kayau Komunitas Adat Dayak Kenyah yang sengaja turun dari wilayah adat mereka di Apo/ Apau Kayan untuk mencari kepala sebagai pelengkap tradisi ritual adat yang sedang mereka lakukan.

Dari Muara Sungai Payang Para Kayau Dayak Kenyah mengejar Eteng dan rombongan tanpa sepengetahuan Rombongan Eteng.

Sebenarnya beberapa pertanda buruk sudah terjadi mengiringi keberangkatan Eteng Bersama Rombongan, Saat berpapasan dengan warga Long Bangun yang baru pulang dari ladang. Eteng dan rombongan kembali di ingatkan dan diminta kembali. tapi tetap tetap ditanggapi dingin oleh Eteng. Padahal pada waktu itu para kayau telah mengintai mereka.

Eteng bersama rombongan akhirnya membuat pondok peristirahatan di sebelum melanjutkan perjalanan mereka.

tidak berlangsung lama, di pondok peristirahatan inilah Rombongan Eteng di sergap oleh kayau saat menjelang subuh.

Hanya satu orang yang selamat dari penyergapan Kayau karena saat kejadian sempat melompat ke Batangan Sungai Alan dan langsung menyelam kedalam sungai untuk melarikan diri walaupun sempat terkena tombak di bagian bokong. sedangkan rombongan lainya tidak bisa menyelamatkan diri termasuk Eteng selaku pimpinan mereka yang dibunuh oleh Ayau dan diambil kepalanya untuk keperluan ritual adat.

Anggota yang selamat ini akhirnya menetap di Long Bagun dan sempat menikah di Batoq Kelo.

Saat selamat dari Kayau seorang yang selamat dari rombongan eteng langsung mengabarkan ke Kampung Long Bagun. bahwa mereka telah di serang oleh orang yang tidak dikenal dan hanya dia yang selamat.

Setelah Ritual Adat Padi Baru Selesai, Rombongan Kampung Long Bagun mendatatangi tempat kejadian untuk memastikan informasi peristiwa yang mereka dapat dari salah seorang Rombongan Eteng.

Saat tiba ditempat kejadin memang sudah tidak ada lagi yang tersisa dari rombongan ini. dimana yang tersisa hanya jasat saja dan semua kepala mereka sudah dibawa habis oleh Para Ayau.

Atas kejadian ini, pihak Belanda lantas mengambil tindakan menahan semua Hipui yang ada di Mahakan yang kemudian dimasukan kedalam Sper istilah penjara pada waktu itu  yang berada di Long Iram sampai mendapatkan orang yang telah melakukan pemenggalan terhadap Rombongan Eteng. karena dianggap Para Hipui ini yang membunuh Eteng beserta rombonganya.

Pelaporan atas pembunuhan ini masih simpan siur pada waktu itu sehingga menyebabkan para Hipui di tahan oleh Belanda. sehingga pihak Belanda beranggapan bahwa Komunitas Dayak Bahau yang ada di Mahakam yang melakukan ini.

Sehingga pengurus – pengurus kampung  melakukan rapat untuk membuktikan bahwa bukan hipui mereka yang melakukan hal yang dituduhkan oleh Belanda.

Maka munculah seseorang dari Kampung Long Bagun yang bernama Ajang untuk melakukan investigasi ke Apo/Apau Kayan. karena dari awal komunitas – komunitsa adat yang adat di Mahakan sudah mencurigai bahwa salah satu Komunitas Dayak Kenyah di Apo/Apau Kayanlah yang melakukan kayau ini.

Dalam investigasinya Ajang berangkat seorang diri ke Apo/ Apau Kayan. proses ini memakan waktu lama bahkan ajang sempat menikah di tempat ini.

Setelah beberapa tahun menjalankan misinya di Apo/ Apau kayan akhirnya ajang mendapatkan informasi yang dia cari. Setelah mendapatkan informasi ini, Ajang kembali ke Long Bagun untuk menyampaikan informasi yang telah didapat.

Dari informasi yang didapat Ajang, diketahui bahwa yang membunuh Eteng beserta rombongan adalah adik dari Ngang Jalung yaitu Hivung dan Husek. Ngang Jalung sendiri merupakan Kepala Adat Dayak Kenyah di Wlayah ini yaitu Dayak Kenyak Lepoq Bem. namun dalam laporan Ajang, Ngang Jalung lah yang melakukan pembunuhan.

Ngang Jalung sendiri setelah mengetahui bahwa ajang telah mendapatkan informasi pembunuhan Robongan Eteng lantas melarikan kedua adiknya yang menjadi tersangka ini kedala hutan.

Untuk menyelesaikan kasus ini, sekitar tiga kali dalam upaya menangkap Ngan Jalung di Apo/ Apau  Kayan namun selalu gagal. karena Ngang Jalung selalu mendapat perlindungan dalam komunitasnya selaku pimpinan adat.

Akhirnya naiklah Liah Ding selaku kepala adat bersama Ingan Juk, Buk Paran, Hanyek,