Sejarah Peradaban Masyarakat Adat balik

 Sejarah Suku Balik

Masyarakat Balik menyatakan bahwa mereka berasal dari Benuo Balik (Balikpapan), suku Balik sepaku berpindah dari Benuo Balik dikarenakan ladang yang memakai sistem gilir-balik, selain itu juga suku balik dikenal dengan suku yang baik hati setiap ada suku lain yang masuk ke dalam wilayah adat mereka, suku balik tidak mempermasalahkan dan bahkan mereka suku yang pemalu, ketika mulai banyaknya suku lain datang ke Benuo Balik mereka juga semakin menghindar bahkan tidak terlalu menampakkan diri.

Perpindahan suku balik dari Benuo Balik melalui jalur laut yaitu Teluk Balikpapan (Tanjung Gonggot) lalu masuk ke sepanjang aliran sungai sepaku, bukan hanya berpindah ke sepaku saja tetapi suku balik juga menyebar di wilayah Pemaluan, Mentawir, dan Maridan. Suku balik sudah ada jauh sebelum adanya kepemimpinan Mardipa (sesepuh suku balik) (sudah ada dari tahun pertama atau dimulainya alam semesta).

Bahkan wilayah jelajah Suku Balik tidak hanya sebatas yang telah disebutkan di atas, tetapi juga sampai wilayah Kutai Kartanegara dan Kutai Barat. Ini dibuktikkan pernah bermukimnya Suku Balik di Sungai Jitan, dimulai pada Tahun 1903 hingga 1958, jumlah Suku Balik yang bermukim di Sungai Jitan pada waktu itu sebanyak 30 Kepala Keluarga yang masuk secara bertahap. Adapun pemimpin Suku Balik ketika mereka bermukim di Sungai Jitan adalah Petinggi Jaber dan wakilnya Riga’.

Suku Balik pada waktu itu hidup berdampingan bersama Suku lainnya, yaitu Suku Basap yang kala itu dipimpin oleh Petinggi Sembulan mendiami sebelah naik Sungai jitan atau disebut Benua Lawas, sementara Suku Balik mendiami sebelah kiri Sungai. Bahkan masyarakat Balik juga mengakui bahwa mereka pernah bermukim di Bongan (Bongon) salah satu wilayah yang sekarang masuk Kabupaten Kutai Barat. Namun, tidak diketahui secara pasti berapa jumlah Suku Balik yang pernah mendiami wilayah tersebut dan mulai Tahun berapa mereka bermukim di wilayah tersebut.

Adapun berbagai literarur menyatakan seperti yang tertulis di dalam Kitab Salasilah Kutai yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tharir pada tahun 1849, ia menulis tentang suku asli Benuo Balik (Balikpapan) yaitu suku Balik dengan menggunakan aksara Arab-Melayu yang ditulisnya sebagai berikut: ba-alif-lam-ya-qaf, yang dilatinkan menjadi Balik/Baliq (Azis, A, 2019).

Pada tahun 1724, F. Valenijn menulis dalam bukunya tentang asal-usul Kota Balikpapan yang merekam penduduk asli yang mendiami Pesisir Balikpapan, kala itu Balikpapan dikuasai oleh Kerajaan Kutai yang dipimpin Sultan Muhammad Idris, beliau memerintahkan kepada masyarakat yang mendiami sepanjang Pesisir Teluk Balikpapan untuk mengumpulkan 1000 papan kayu, kemudian papan tersebut digunakan bagi Pembangunan Istana Kerajaan Kutai yang berada di Kutai Lama (Pemerintah Kota Balikpapan, 2011).

Konon menurut cerita, kepingan papan tersebut diangkut menggunakan kapal, namun apa hendak dikata, kapal yang membawa papan-papan tersebut terbalik, sehingga papan tersebut kembali ke tempat asalnya di Teluk Balikpapan (Tanjung Gonggot). Maka dari saat itu, orang-orang yang mengantarkan papan tersebut secara organik menamakan dirinya sebagai orang Balik (Rifai et al., 2018). Di kala itu, tanah yang didiami oleh Suku Balik terkenal akan penghasil kayu-kayu terbaik, seperti ulin dan meranti (Mustikawati, 2016).

 

Proses Migrasi Suku Balik


Gambar 1. Time Line Proses Perpindahan Suku Balik

  • Masuk nya kerajaan Kutai di wilayah adat suku balik

Masuknya kerajaan kutai, kekuasaan kerajaan kutai menguasai wilayah adat suku balik di Benuo Balik (Balikpapan) dilihat dari sejarah bahwa suku balik dipekerjakan untuk membantu kerajaan membangun kerajaan Kutai dan masuk nya kerajaan ke wilayah adat sepaku dilihat adanya diangkatnya petinggi yang berasal dari suku balik yang diangkat oleh raja untuk menjadi panglima (Jaya Kerkasa) dan untuk mengatur wilayah adat suku balik.

  • Masuknya Penjajahan Belanda dan Jepang di wilayah adat suku balik 

Kekayaan alam seperti minyak dan batu bara menarik perhatian kolonialisme ke Kalimantan Timur, termasuk di daerah bentang alam Sepaku yang merupakan wilayah hidup masyarakat adat Balik. Pada Januari 1942, kekuasaan Belanda digantikan oleh pemerintahan pendudukan Jepang. Pertempuran besar di Kalimantan Timur terjadi pada Juli 1945, ketika tentara Australia, mewakili blok Sekutu Barat, melancarkan serangan untuk merebut kembali wilayah Pasifik yang sebelumnya dikuasai Belanda. Perebutan pantai dan teluk Balikpapan juga berdampak pada masyarakat adat Balik dan wilayah hidup mereka.

  • Masuknya Gerombolan (DI/TII) Ibnu Hajar di wilayah adat sepaku

Ibnu Hajar adalah sekelompok gerombolan yang dimana gerombolan ini berniat untuk memperbudak suku balik untuk melakukan perampokan dan apabila suku balik tidak melakukannya maka akan dibunuh, gerombolan ini masuk kedalam wilayah adat suku balik dengan waktu bersamaan yaitu pada tahun sekitar 1958-1959. Suku balik merasa tidak ingin diperbudak karena itu menentang hati nurani mereka, sehingga mereka berpencar kabur dari wilayah adat mereka ke tempat lain yaitu; Nenang, Jembayan, Samarinda, Selok Api, Kedang Ipil, Bongan, dan Periyan. Benuo sepaku menjadi sepi atau kosong dengan waktu yang cukup lama. Kedatangan gerombolan menandai fase ancaman terhadap kehidupan masyarakat suku Balik. Akibat konflik bersenjata antara gerombolan Ibnu Hajar dan tentara pemerintah, orang-orang Balik terpaksa berpencar dan meninggalkan kampung halaman mereka. Mereka baru bisa kembali dan berkumpul di Sepaku sekitar dua tahun setelah serangan gerombolan. Banyak orang yang meninggal selama pelarian turut menyebabkan penurunan populasi masyarakat adat Balik, dan beberapa di antaranya memilih untuk menetap di tempat baru daripada kembali ke Sepaku (Jatam Kaltim, Bersihkan Indonesia, PusHPA, 2023).

  • Masuk nya transmigrasi tahun 1970 s/d 1977

Masuk nya transmigrasi pada zaman nya pembakal hawa yang memberikan izin stempel. Ada nya transmigrasi membuat watas-watas yang tidak jelas dan bahkan membuat sengketa tanah karena orang-orang transmigrasi membuka lahan semaunya selain itu juga karena transmigrasi mengakui tanah-tanah yang ada di wilayah adat suku balik benuo sepaku adalah milk transmigrasi yang membuat terjadi nya pertengkaran.

  • Masuknya perusahaan didalam wilayah adat suku balik 
  • PT. Delong tahun 1970an (Bidang Kayu), PT. Sita tahun 1970 (bidang kayu), PT. ITCI-KU tahun 1968 an (bidang kayu), PT. IHM (Hutan tanaman industri) 1980an, Perkebunan kelapa sawit PT. Agro Indo Mas tahun 2000, Perkebunan Kelapa Sawit PT. Palma tahun 2012. Masuknya perusahaan di dalam wilayah adat sepaku membuat wilayah kelola suku balik menjadi semakin menyempit dan memiskinan suku balik.

 

Situs Sejarah Suku Balik

Situs sejarah memiliki makna simbolik yang terkandung di dalamnya, karena itu situs merupakan peninggalan masa lampau yang memuat fakta sejarah sebagai media perantara masyarakat dengan pengalaman masa lalunya. 

Ini tercermin pada beberapa situs sejarah yang dimiliki oleh Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku, seperti Batu Badok, Batu Bawi, Batu Tukar Tondoi, Batu Jaya Kerkasa, Batu Sekiur, Bakau Lemit yang memiliki makna simbolik yang terkandung di dalamnya.

Situs sejarah yang telah disebutkan di atas merupakan titik sakral bagi masyarakat suku balik melaksanakan berbagai bentuk ekspresi nilai-nilai keyakinan mereka pada leluhur terdahulu. Berikut adalah serangkaian cerita yang dituturkan oleh salah satu tokoh masyarakat adat suku balik, yang telah dirangkai sedemikian rupa.

Hal ini pun dinyatakan oleh salah satu tokoh masyarakat adat Balik yaitu Bapak Sekion bahwa “batu Badok dan batu Bawi terletak pada hulu dan hilir sungai Sepaku dan di atas adalah tempatnya batu tukar tondoi, di situ merupakan tempat orang tua kami melakukan ritual, seperti Sepetong Jatus, Jakit, dan membayar hajat dalam bahasa balik (mayar niat) dengan tujuan melaksanakan komunikasi pada leluhur untuk mengobati segala penyakit yang menimpa masyarakat, agar segera  disembuhkan dan menjadi tempat bagi masyarakat yang ingin menunaikan hajat dan keinginannya, juga tempat melaksanakan upacara adat yaitu Irow”.


Gambar 2. Batu Badok

Batu Badok (badak) dan batu Bawi (babi) memiliki sejarah tersendiri dan masih lekat di ingatan beberapa masyarakat adat Balik asli seperti yang diceritakan oleh Bapak Sekion ” memang sejarah batu itu kan dulu, satunya badak dan babi, badak itu kan rajanya babi mereka ini melanggar aturan yang berlaku pada waktu itu, dan mereka di kejar oleh semacam petir dan terjun ke sungai, jadilah mereka batu. Sementara, batu bawi (batu babi) sudah tidak ada batunya karena telah dihancurkan oleh perusahaan PT. SITA. 

  Adapun batu Tukar Tondoi itu tempat para bidadari mandi, dalam bahasa balik tukar itu artinya (tangga) yang menghubungkan alam atas dan alam manusia, yang sekarang lokasi batu itu menjadi bagian proyek pembangunan Bendungan Intake Sepaku, dan Tondoi itu artinya penguasa air yang menjaga sungai.

Bapak Sekion juga menceritakan situs sejarah yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan  masyarakat adat balik yaitu batu Jaya Kerkasa dan batu Sekiur, dalam ingatannya batu jaya kerkasa diambil dari nama salah satu tokoh masyarakat adat suku balik yang pernah hidup dimasa lampau, yang juga memiliki kesaktian untuk melindungi masyarakatnya.

Gambar 3. Makam Jaya Kerkasa

Sementara batu Sekiur merupakan tempat pembersihan diri atau mandi dari tokoh yang bernama Jaya Kerkasa tersebut, ketika Jaya Kerkasa ingin bersuaka ke Kerajaan Kutai, maka terlebih dahulu ia membersihkan dirinya di batu Sekiur. 

Sehingga ketika menghadap Raja Kutai, air yang berada di badan Jaya Kerkasa masih menetes di istana sang raja karena Jaya Kerkasa memilki ukuran tubuh yang diameternya melebihi manusia biasa dan memiliki kesaktian berjalan dengan cepat. 


Gambar 4. Batu Sekiur
nampak permukaannya saja, karena terendam oleh sungai sepaku. Kondisi sungai sepaku saat ini tidak terdapat pasang dan surut akibat proyek intake sepaku.

 

Menurut penuturan Bapak Sekion bahwa Jaya Kerkasa juga merupakan salah satu panglima Kerajaan Kutai yang diangkat oleh Raja. Selain itu, dipercayai pula bahwa Jaya Kerkasa turut dimakamkan bersama hewan peliharaannya yaitu anjing (asu’), yang berada tepat pada arah kaki sang Jaya Kerkasa.

Gambar 5. Kuburan Hewan Peliharaan Jayakerkasa yaitu anjing (Asu’)

Bapak Sekion kemudian melanjutkan ceritanya secara fasih “selepas Jaya Kerkasa meninggal, ia memiliki seorang cucu, ketika sedang berada di pondok peristirahatan, sang cucu berada di serambi depan sedang menyantap nasi yang berwarna kemerahan (pulut), kemudian tanpa diketahui anjing peliharaan dari Jaya Kerkasa tersebut secara tiba-tiba langsung menyerang dan menerkam cucunya hingga tewas.

Sehingga, keesokan malamnya seorang keluarga dari anak tersebut dalam tidurnya ia pun diberi mimpi dan diberi pesan oleh Jaya Kerkasa, bahwa tidak usah terlalu memikirkan kematian sang anak dan diperintahkan bahwa harus segera membunuh hewan peliharaannya tersebut yang juga memiliki kesaktian, dan dibunuhlah anjing tersebut dan diberi pesan bahwa anjing tersebut harus dimakamkan bersama Jaya Kerkasa dan diletakkan di bawah kakinya.

Maka dari itu, masyarakat balik yang masih memiliki ikatan darah pada Jaya Kerkasa, dilarang untuk menanam padi yang berwarna merah atau dalam bahasa Baliknya Bias Mea.

Kini, situs sejarah Batu Sekiur telah terdampak oleh salah satu proyek Pembangunan IKN yaitu Intake/Bendungan yang menutupi Sungai Sepaku. Sehingga Batu Sekiur telah tenggelam sepenuhnya dikarenakan sungai sepaku yang tidak memiliki pasang dan surut lagi.

Adapun cerita lainnya yang masih memiliki keterikan erat dengan masyarakat adat balik adalah Gua Tembenus atau liang Tembenus, diyakini bahwa Tembenus merupakan orang yang memiliki sifat yang mudah marah, dan di dalam gua Tembenus juga terdapat batu raja yang diyakini pernah mengalahkan tokoh yang bernama Tembenus. Konon menurut penuturan yang disampaikan oleh Bapak Sekion bahwa “Gua Tembenus dahulunya merupakan pemukiman dari masyarakat suku balik, yang mendapat kutukan menjadi batu oleh Nayu’ ”.

Gambar 6. Batu Tembenus

Ihwalnya cerita tersebut bermula ketika para masyarakat suku balik melakukan serangkaian upacara adat pengobatan yang memiliki makna spritual dan magis yaitu Belian. Ketika proses ritual adat itu tengah berjalan, datanglah laki-laki yang memiliki sifat pencemburu yang baru saja pulang dari memburu hewan di hutan, memukul alat musik gendang (tung) pada saat upacara belian dengan menggunakan ekor biawak gunung (miwa) dan monyet merah (buis).

Maka seketika juga datang angin topan, badai dan langit seketika gelap yang di dalam bahasa balik (boi) yang merubah segala sesuatu di dekatnya menjadi batu.

Hal demikian juga terjadi di Gua Belatat yang berubah menjadi batu dalam waktu yang bersamaan dengan tembenus, karena kedua gua ini memiliki lokasi yang hampir berdekatan, pada waktu peristiwa itu terjadi orang-orang yang bermukim di gua Belatat melakukan perlawanan terhadap Nayu’ yang memberikan kutukan pada mereka. 

Gambar 7. Batu Keris di Gua Tembenus

Pada saat melakukan perlawanan, ada salah satu masyarakat yang saat itu tengah membuat sayur keladi, maka tanpa pikir panjang ia langsung menghunjamkan sendok yang terbuat dari sayur keladi tersebut kepada Nayu’, sehingga darah sang Nayu’ menetes hingga terdapatlah sekarang batu Nayu’ yang berada di dalam gua Belatat. Penamaan gua Belatat sendiri karena warna dari gua tersebut hitam seperti sedang di asapi oleh api. 

Di yakini pula di dalam gua Belatat terdapat kolam besar yang airnya berwarna kan biru seperti laut, masyarakat balik mempercayai bahwa saat bulan purnama tiba akan muncul makhluk yang menjaga kolam tersebut, penjaga kolam tersebut dikatakan menyerupai seperti naga yang dalam bahasa balik disebut (atang germen).

Gambar 8. Bakau Lemit (Bakau Kuning)

Ini merupakan wilayah tempat masyarakat balik untuk melaksanakan nazar (beniat) dan membayar hajat (mayar niat). Setelah melaksanakan kegiatan itu maka yang melaksanakan nazar memotong ayam berwarna hitam dan putih atau mengikatkan kain berwarna kuning.

Gambar 9. Sebelah Kiri (Kuburan Sendra) dan Sebelah Kanan (Kuburan Datu Nondol)

Datu Nondol merupakan salah satu tokoh masyarakat balik yang hidup di masa lampau dan diyakini memiliki kesaktian dan dihormati oleh masyarakatnya lainnya di Sepaku. Datu Nondol juga merupakan keturunan langsung dari Datu Jaya kerkasa, dan Datu Nondol juga memiliki keturunan yang bernama Sendra, dan dimakamkan secara berdampingan.

 

Referensi

Azis, A, A. (2019). Jejak Sejarah di Samboja-Sepaku, Tempat Tinggal Suku Balik sampai Amukan Tentara Jepang. KaltimKece. https://kaltimkece.id/historia/peristiwa/jejak-sejarah-di-sambojasepaku-tempat-tinggal-suku-balik-sampai-amukan-tentara-jepang

Mustikawati, A. (2016). Cerita Rakyat Masyarakat Penajam Paser Utara: Fakta Sejarah

Kesultanan Kutai Kartanegara dan Kesultanan Paser. TotoBuang, 4(2). https://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=745388&val=11749&title=Cerita Rakyat Masyarakat Penajam Paser Utara Fakta Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara dan Kesultanan Paser Penajam Paser Utara Folktales Historical Fact of Sultan Kutai Kartanegara and Paser

Pemerintah Kota Balikpapan. (2011). Sejarah Kota Balikpapan. Pemerintah Kota Balikpapan.

https://web.balikpapan.go.id/detail/read/46

Rifai, A., Mustikawati, A., Kurniawati, D., Hariyanto, D., Misriani., & Herawati, D. (2018).

Serpihan Cerita Rakyat Kalimantan Timur. Kantor Bahasa Kalimantan Timur.

Kaltim, J., Indonesia, B., PusHPA., & Kaltim, A. (2023). Nyapu : Bagaimana Perempuan dan Masyarakat Adat Balik Mengalami Kehilangan, Derita, dan Kerusakan Berlapis Akibat Megaproyek Ibu Kota Baru Indonesia. https://jatam.org/id/lengkap/nyapu

 

Penulis: Masyarakat Adat Balik Sepaku

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *