Larangan Berladang Menjadi Ancaman Serius Bagi Tradisi Masyarakat Adat Kenyah Desa Lung Anai

Berladang Bukan Soal Pangan Semata, Tetapi Ia Merupakan Inti Kebudayaan.

Di Indonesia, luas areal lahan yang diperuntukkan bagi aktifitas perladangan secara berotasi ditaksir mencapai 9,3 juta hektar dengan jumlah petani yang ikut berperan serta sebanyak 6 juta jiwa manusia (Febriadi & Saeni, 2019, p. 17).

Ditenggarai bahwa praktik perladangan secara gilir-balik telah dilakukan sejak mulai berlangsung sekitar 10.000 tahun Sebelum Masehi. Pada prinsipnya praktik pertanian semacam ini, lahir karena kedekatan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Hal ini juga sebagai bentuk pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat dalam mengolah lahan pertanian mereka.

Sistem perladangan tradisional ini pun masih dipraktikkan hingga sekarang oleh masyarakat Dayak di Desa Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Mayoritas masyarakat yang mendiami Desa Lung Anai merupakan suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan yang sebelumnya tinggal di kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia, tepatnya di daerah Apo Kayan.

Peristiwa mereka berpindah disebabkan adanya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1960-an. Hingga tahun 1984, barulah beberapa tokoh masyarakat mencari lahan baru untuk didiami oleh masyarakat lainnya. Masyarakat suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan kemudian memilih untuk menetap di wilayah yang dulunya disebut sebagai Dusun Tanah Merah, yang kini dikenal sebagai Lung Anai sebab menurut mereka wilayah ini cukup layak menunjang kehidupan mereka.

Mayoritas masyarakat Desa Lung Anai berprofesi sebagai petani ladang secara gilir-balik. Praktik pertanian semacam ini di dalam bahasa Inggris  disebut sebagai slash and burn cultivation system atau swidden cultivation system. Ini merupakan praktik menanam padi dengan gilir-balik di lahan gunung atau lahan kering, diolah dengan cara membuka satu sampai dua hektar lahan yang terdapat di hutan, menebas, menebang, dikeringkan, lalu dibakar, dan ditanami dengan padi serta berbagai tanaman semusim lainnya sekitar satu sampai dua tahun berturut-turut di lahan yang sama.

Tentu dalam hal pembukaan lahan untuk perladangan gilir balik ini memiliki teknik khusus yang tak sembarangan seperti yang kerap dituduhkan oleh pemerintah dan aparat yang berwenang.

 

Gambar 1. Spanduk Himbauan Larangan Pembakaran Oleh Aparat Di Penajam Paser Utara

 

Namun, kehidupan masyarakat peladang kini kian terombang-ambing akibat berbagai kebijakan yang membuat mereka secara perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan itu. Seperti kebijakan yang bersifat top down yaitu Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, menyebabkan masyarakat Dayak terkulai lemah akibat tak bisa berladang lagi. Aturan soal membakar ladang ini sebenarnya sudah diatur oleh berbagai kebijakan lainnya seperti Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Selain peraturan yang tidak memperhatikan kearifan lokal masyarakat, juga ditambah dengan ekspansi berbagai industri ekstraktif yang menjarah lahan pertanian milik masyarakat.

 

Tahapan Proses Perladangan

Dalam tahapan atau siklus perladangan ini lah yang mengandung unsur kebudayaan perladangan. Menurut Koentjaraningrat seorang Begawan Antrpologi bahwa ada 7 unsur dalam pemebentuk kebudayaan yaitu Unsur pakaian dan perlengkapan hidup, Unsur mata pencaharian, Unsur sistem sosial, Unsur bahasa, Unsur kesenian, Unsur ilmu pengetahuan dan teknologi, Unsur agama dan kepercayaan.

Murhaini, S & Putra, M., (2022) Menyatakan bahwa berkaitan dengan pertanian masyarakat Dayak, keseluruhan proses, rangkaian, dan hasil (berupa padi) bersama dengan puncak dari praktik bercocok tanam (gawai, perayaan tahun baru Dayak) dapat dianggap sebagai suatu sistem kebudayaan. Pertanian tidak hanya berperan sebagai sistem mencari nafkah dan ekonomi, tetapi juga sebagai manifestasi dari sistem pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup, teknologi pertanian, agama, dan seni dalam budaya tersebut.

Adapun beberapa urutan dalam proses berladang di Desa Lung Anai. Mulai dari pembukaan lahan di mana masyarakat mencari lahan untuk berladang dengan melihat kondisi lokasi dan kondisi tanah yang cocok untuk dijadikan ladang.

Gambar 2. Peladang Di Desa Lung Anai Sedang Menugal

 

Proses pembukaan lahan untuk perladangan masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Desa Lung Anai akan dipimpin oleh seseorang yang biasanya disebut masyarakat sebagai Ketua Ladang. Ketua Ladang akan diambil dari pihak yang dianggap paham mengenai adat-istiadat dan tata cara dalam perladangan maupun pihak yang dianggap sebagai tokoh masyarakat. Selanjutnya, maka Ketua Ladang akan mengumpulkan masyarakat untuk melakukan musyawarah di Rumah Lamin. Dalam musyawarah akan diputuskan bersama kapan waktu yang tepat untuk memilih lahan yang cocok guna dijadikan perladangan dan waktu yang tepat untuk membuka lahan perladangan.

Umumnya masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan dalam pemilihan lahan dan pembukaan lahan untuk ladang, mereka melaksanakannya pada Mei hingga Juni. Pelaksanaan pemilihan lahan dan pembukaan lahan tersebut mencakup proses menebas atau memotong pohon-pohon yang berdiameter kecil, menebang pohon-pohon yang berdiameter besar, kemudian pada Agustus masyarakat akan melaksanakan pembakaran lahan.

Pembakaran lahan dilakukan selama satu sampai empat minggu. Jika sedang musim hujan maka akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Masyarakat masih mempraktikkan cara peninggalan nenek moyang mereka yaitu dengan cara membakar, karena dengan cara pembakaran tersebut masyarakat Dayak menganggap bahwa sisa-sisa pembakaran itu sebagai pupuk alami. Tentu hal ini akan sedikit meringankan biaya mereka dan tidak perlu lagi untuk membeli pupuk kimia yang harganya cukup mahal. Hal ini juga sebagai bentuk adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya, karena kandungan asam yang tinggi di tanah Kalimantan membuat masyarakat membakar lahan untuk mengurangi kandungan asam di dalam tanah.

Setelah satu bulan pasca menanam padi, masyarakat Dayak yang memiliki lahan mulai merawat padi yang mulai tumbuh tunas. Mereka membersihkan hama dan gulma yang menyerang ladang mereka. Sebagian besar masyarakat masih membersihkan ladang dengan cara manual dan beberapa masyarakat sudah mulai menggunakan bahan kimia seperti pestisida. Namun, dalam proses penanaman padi ladang tidak menggunakan pupuk kimia dikarenakan pupuk telah didapat dari hasil pembakaran.

Masyarakat Dayak Kenyah di Desa Lung Anai dalam hal pembakaran lahan untuk berladang juga tidak asal membakar, mereka memiliki teknik khusus dalam hal pembakaran yang dilakukan dengan teliti. Sebelum melakukan pembakaran, masyarakat memberi sekat di pinggiran ladang dan memprediksi arah angin. Setelah memberi sekat di pinggiran ladang, masyarakat pun tidak langsung meninggalkan lahan tersebut. Mereka akan menjaga api sampai benar-benar padam agar api tidak menyebar melewati batas ladang dan menghindari kebakaran hutan. Setelah dua atau tiga hari pembakaran. mereka kembali ke lahan untuk membersihkan sisa-sisa pembakaran yang masih tertinggal seperti kayu-kayu dan ranting-ranting. Setelah ladang bersih, mereka mulai menugal atau menugan (menanam padi) secara saling bergotong-royong di ladang warga yang membuka lahan secara bergantian.

Soal membakar lahan untuk berladang ini pun sebenarnya juga sudah diatur dalam peraturan adat di Desa Lung Anai dan tidak mungkin masyarakat tersebut membakar secara sembarangan yang mengakibatkan kebakaran hutan secara meluas. Seperti yang sering dituduhkan oleh pemerintah kita, yang sering mengkambinghitamkan para peladang sebagai penyebab kebakaran hutan dan kabut asap.

Dalam peraturan adat, persoalan membakar ini diatur dalam pasal 19 Undang-undang Adat Dayak Kenyah (UHADK) yang berbunyi sebagai berikut:

  1. Apabila seseorang ingin membakar lahan perladangan atau perkebunan, lebih dahulu harus diberitahukan kepada tetangganya, atau ladang atau kebun yang berdekatan dengan lahannya sebelum hendak membakar, paling lambat 2 hari sebelumnya.
  2. Jika pondok ternak, pondok kebun, serta tanaman orang lain ikut terbakar hingga musnah kepada pembakar itu didenda RP100.000 oleh Badan Adat, dan harus membayar ganti kerugian orang-orang yang terbakar.

Budaya dalam perladangan masyarakat Dayak mengambarkan bahwa pada praktiknya perladangan mereka kaya akan berbagai ritual dan aturan adat yang selaras dengan pelestarian lingkungan, mulai dari pembukaan lahan sampai ketahap terakhir yaitu pesta panen, dalam pengerjaan ladang pun dilaksanakan dengan melibatkan seluruh masyarakat secara bergotong- royong (Nopembereni et al., 2019). Hutan yang dijadikan sebagai wilayah perladangan tidak hanya dipandang sebagai objek pasif yang dapat diekploitasi secara rakus. Dalam konsepsi pengetahuan masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan, segala pemenuhan bagi kehidupan mereka dipenuhi dari hasil hutan. Namun, pemenuhan kebutuhan hidup lewat hutan dengan cara membuka ladang didalamnya tidak dilaksanakan secara eksploitatif melainkan secara arif dan bijaksana.

 

Kini, Modernisme terus menghantarkan masyarakat Dayak menuju persimpangan jalan. Pengetahuan dan kearifan lokal yang mereka miliki dituntut untuk ditinggalkan sama sekali atau mengikuti perkembangan jaman yang sama sekali tidak sesuai dengan nilai-nilai kehidupan sosial budaya dari pada masyarakat Dayak.

Salah satu produk dari modernisme adalah Uniformitas atau penyeragaman, sebab modernisme menuntut dalam berbagai kehidupan untuk dilihat melalui kacamata analisa yang logis serta dibuktikan dengan data-data yang sahih sebagai penunjang. Sementara bentuk pengetahuan dan praktek yang berbau tradisional dianggap sama sekali tidak relevan dengan  jaman dan tidak bisa ditafsirkan oleh logika yang sehat.

Hal inilah yang dialami oleh masyarakat Dayak dewasa ini, mereka dipaksa untuk tunduk terhadap berbagai aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, agar tidak lagi bertani secara “berpindah-pindah” dan memutuskan untuk meninggalkan pola pertanian yang diturunkan secara berabad-abad oleh nenek moyangnya dengan cara bertani secara menetap.

Padahal pengelolaan sistem sumber daya alam diberbagai daerah atau suku di Indonesia memiliki kekhasan atau karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan lingkungan tempat tinggal masing-masing. Tidak jarang pula, pengelolaan sumber daya alam yang bersifat khas ini, juga sebagai bentuk pengetahuan masyarakat lokal untuk beradaptasi terhadap lingkungannya.

Bertani secara menetap artinya masyarakat telah tercerabut dari akar kebudayaannya. Menyetir dari argumen Karl Marx yang disebut sebagai Akumulasi Primitif , hal ini jika dikaitkan kepada masyarakat peladang oleh kapitalisme dilakukan dengan cara “memisahkan masyarakat peladang dari keterikatannya terhadap alam dan tanah, juga dengan mengenalkan pola agrikultur modern, hal ini dapat menciptakan proletariat, para kapital akan lebih leluasa dalam menguasai akses terhadap sumberdaya mineral dan menguatkan posisinya”.

 

Penulis : Andreas Hului

 

Senarai Referensi

 

Murhaini, S & Putra, M, S. (2022). Sistem Peladangan Suku Dayak: Dahulu, Kini, Masa Depan (1st ed.). Lembaga Literasi Dayak.

Nopembereni, E. D., Sugiyanto., Sukesi, K., & Yuliati, Y. (2019). Local Wisdom in Shifting Cultivation Management of Dayak Ngaju Community, Central Kalimantan. Journal of Socioeconomics and Development, 2(1), 38. https://doi.org/10.31328/jsed.v2i1.939

Febriadi, I., & Saeni, F. (2019). Kajian Aspek Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Dalam Melakukan Aktivitas Perladangan Berpindah Oleh Masyarakat Kampung Ibasuf Distrik Aitinyo Kabupaten Maybrat. Median : Jurnal Ilmu Ilmu Eksakta, 11(1), 17–25. https://doi.org/10.33506/md.v11i1.459

Koentjaraningrat. (2015). Kebudayaan, Mentalitas, Dan Pembangunan (21st ed.). Gramedia Pustaka Utama.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *