PT. SAWA Tolak Kembalikan Wilayah Adat Dan Bayar Denda, Masyarakat Adat Long Bentuk Blokir Jalan

 

Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai menutup akses jalan perusahaan di wilayah adat mereka

Lembaga Koalisi Pendukung Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai di desa Long Bentuk melakukan aksi damai sebagai sebagai upaya mengawasi dan mengawal penyelesaian Konflik Agraria yang berlangsung  di Desa Long Bentuk, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur (03/02/2021).

Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai menuntut perusahaan PT. Subur Abadi Wana Agung karena merampas kurang lebih empat ribu hektar mereka.

Sejak 30 Januari 2021, warga masyarakat adat Dayak Modang Long Wai di Long Bentuk melakukan aksi damai menutup akses mobilisasi pengangkutan CPO dan buah sawit milik perusahaan PT. Subur Abadi Wana Agung (PT. SAWA) yang merupakan anak perusahaan PT. Tri Putra Group di wilayah adat Dayak Modang Long Wai di Long Bentuk tepatnya KM 16. Aksi ini merupakan puncak kekecewan masyarakat Dayak Modang Long Wai atas perjuangan selama 13 tahun yang tidak pernah mendapatkan tanggapan positif dari perusahaan terkait penyelesaian tuntutan masyarakat adat atas hak ulayat mereka yang telah digusur dan ditanami sawit tanpa persetujuan masyarakat Dayak Modang Long Wai di Long Bentuk.

Menurut Benediktus Beng Lui, Tokoh Masyarakat Adat Dayak Modang Long Way di Long Bentuk “Sejak penggusuran tahun 2008 hingga sekarang belum ada penyelesaiannya termasuk tuntutan kami atas pelanggaran kearifan lokal kepada perusahaan sebesar lima belas milyar. Hingga pertemuan kami di kabupaten dengan munculnya SK bupati tentang tapal batas, padahal kami tidak pernah bicara tentang tapal batas yang ini tapi kami berbicara tentang hutan kami kalaupun berdasarkan batas itupun masih masuk keputusan tahun 1993 yang masuk wilayah kita.  Itu yang tidak pemerintah lihat lalu membuat keputusan SK tersendiri sehingga terbit Sk Bupati tahun 2015 yang memperkecil Wilayah Long Bentuk.” Tegas Beng Lui”

“Kalau disisi SK, tapi SK ini baru sedangkan persoalannya sudah terdahulu, sehingga itu menjadikan masalah ini tidak kunjung selesai, maka kami meminta bantuan dari pihak DAD (Dewan Adat Dayak) Kaltim untuk memfasilitasi karena beberapa kali warga mengatasnamakan lembaga adat menyurati perusaan tapi tidak ada tanggapan sama sekali.  Tapi setelah kami terhubung dangan DAD dan terverifikasi ternyata banyak pelanggaran yang harus dituntut, Sehingga DAD bersama lembaga adat membuka lagi tuntutan ini.  Setelah beberapa beberapa kali mediasi dan pertemuan, pihak perusahaan tidak mengakui dengan dasar bahwa mereka sudah bayar ke desa tetangga. Sebenarnya itu kesalahan mereka sendiri, mereka tau itu wilayah kita kenapa bayar kesitu. Kan kita tidak mau tau.”Tambahnya

“Sudah beberapa mediasi, perusahaan tidak juga mau sampai kita beri batas waktu tiga hari tapi tidak juga ada respon sampai pada hari minggu kami beri batas waktu sampai jam 3 (tapi tidak juga ada respon maka kata sepakat tutup jalan”

“Hingga muncul di media kami menutup jalan ini termasuk juga masyarakat, itu tidak benar. Kami tidak menutup akses masyarakat yang kami tutup hanya akses perusahaan dan akses itu dalam wilayah kita, makanya kami sayangkan berita – berita miring itu.”

“Harapan kami pihak perusahaan mempunyai itikat baik untuk menyelesaikan ini, yang pertama itu pelanggaran kearifan lokal, kedua kembalikan hak kami yang empat ribu hektar itu saja. Karena untuk sementara perusahaan tidak bersedia membayar pelanggaran yang mereka lakukan terhadap kearifan lokal dan mengembalikan tanah yang sudah digusur ke masyarakat.”Tegas Beng Lui

Kasus berlangsung sejak lama

Persoalan tuntutan Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai ini sudah berlangsung lama hal ini disampaikan Herri Sitohang, Tokoh Keagamaan di Long Bentuk “Sejak 2008 masyarakat ingin mempertahankan hutan mereka dan menolak perkebunan yang ingin merusak hutan.  Maka  kemudian wilayah ini dicoba diklaim oleh desa – desa lain yang kemudian diserahkan kepada perusahaan sawit untuk dijadikan perkebunan sawit. Lalu berproseslah masyarakat adat ini untuk menuntut hak – hak mereka berdasarkan hak asal-usul sejarah mereka, perpindahan kampung mereka semuanya jelas. Lalu tidak ada titik temu, pernah difasilitasi oleh pemerintah daerah di kabupaten itupun akhirnya menjadikan masyarakat adat ini sebagai korban kebijakan dengan SK bupati tahun 2015.”Papar Herri

Menurut Herri Persoalan ini  tidak selesai sampai disitu,  karena  masih berlangsung terus menerus dan hingga tangga 30 januari 2020 sampai hingga saat ini berlangsunglah aksi demo, ini adalah puncak kekecewaan, kekesalan dari masyarakat karena beberapa kali sudah disurati dan beberapa kali juga difasilitasi termasuk difasilitasi oleh DAD.  Perusahaan tidak pernah mencoba memberikan solusi yang terbaik terhadap tuntutan masyarakat adat. Yang pada intinya adalah bahwa Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai menuntut hak mereka, tanah mereka itu diakui oleh perusahaan. Itu yang paling penting karena sampai saat ini terkesan bahwa perusahaan itu tidak mengakui bahwa itu adalah wilayah Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai.

SK tahun 2015 seolah – oleh  menyatakan bahwa Long Bentuk itu baru di Wilayah ini sedangkan Masyarakat Adat Dayak Modang itu sudah ada berabad – abad bahkan sebelum kemerdekaan.  Desa Long Bentuk adalah desa tertua di Kecamatan Busang. Desa – desa lainnya adalah pecahan dari Desa Long Bentuk. Wilayah Desa Long Bentuk kalau dibandingkan dengan desa – desa pecahan ini menjadi sangat sempit , hal ini diperparah dengan  klaim desa lain atas Wilayah Long Bentuk  yang kemudian dijadikan perkebunan sawit.

“Perjuangan masyarakat adat ini sungguh – sungguh murni adalah berbasis kultur budaya mereka berdasarkan asal usul lalu semangat mereka untuk menjaga alam, hutan dan lingkungan hidup, tapi akhirnya mereka menjadi korban atas lebijakan – kebijakan oknum yang kemudian merugikan masyarakat adat.”

“Jadi tuntutan mereka kepada perusahaan yang pertama adalah kembalikan tanah mereka. Kejahatan yang terjadi adalah pengingkaran eksistensi mereka di wilayah ini yang mana wilayah ini notabene adalah Wilayah Adat Dayak Modang Long Wai sejak berabad – abad dan itu bisa ditemukan di literatur – literatur bahkan sebelum Indonesia merdeka bahwa Masyarakat Adat Dayak Modang sudah ada di wilayah ini bahkan sejak tahun seribu enam ratusan.”

“Hal – hal ketidakadilan, penindasan terstruktur dan sistematis inilah yang kemudian merobek – robek hati mereka dan mereka merasa harga diri dan martabat mereka diinjak – injak tidak dihargai sebagai Indigenous People lalu akhirnya sesuai dengan kearifan lokal mereka, sesuai dengan hukum adat mereka atau pelanggaran itulah maka masyarakat adat kemudian menjatuhkan sanksi adat atau perusahaan ini karena telah menginjak – ijak harga diri dan martabat mereka sebesar  lima belas milyar dan itu adalah jumlah atas akumulasi denda dari kurang lebih seribu tiga ratusan gong, lalu seribu tiga ratusan parang, seribu tigaratusan piring, mandau yang merupakan adalah artefak – artefak adat yang harus dibayar perusahaan terhadp setiap jiwa Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai.”Tambah Herri

Herri juga berharap kepada pemerintah untuk tidak harus menunggu legalitas sah melalui pengakuan dan penetapan dari pemerintah untuk melindungi Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai. Karena komunitas adat ini sudah ada di wilayah ini jauh sebelum kemerdekaan. Sehingga yang dibutuhkan adalah perlindungan terhadap Masyaarakat Adat Dayak Modang Long Wai baru kemudian percepat pengakuan dengan mengakui hak – hak masyarakat adat dan berikan kepastian hukum dan hak kepada mereka.

Penggusuran perusahaan  mengandalkan surat keputusan Bupati Kutai Timur

Wilayah Adat Dayak Modang Long Wai yang digusur paksa PT. Sawa

Dengan mengandalkan surat keputusan Bupati Kutai timur Nomor 22/02.188.45/H/I/2006, tanggal 18 Januari 2006, tentang ijin lokasi untuk keperluan budidaya perkebunan kelapa sawit selua 14. 350 hektar. Dan tanpa ijin dari Masyarakat Adat Long Bentuq sebagai pemilih lahan. Langsung menggusur seluas 2000 Hektar Tanah Adat Long Bentuq.

Setelah pengecekan  pertama, pada tangga 21 April 2015 Masyarkat Adat Long Bentuq kembali melakukan pengecekan dan ternyata perusahaan masih melakuan penggusuran. Akhirnya tanggal  22 April 2015 warga melakukan aksi melakukan aksi damai dan mendenda perusahaan sebersar 15 Milayar berdasarkan benda – adat seperti guci, parang dan manik yang jumlahnya diakumulasikan dengan jumlah keseluruhan warga Long Bentuq.

Perusahaan terus mengulur waktu dari proses yang berjalan. Dari hasil keputusan denda, perusahaan meminta waktu untuk membicarakan masalah ini kepada Pimpinan PT. SAWA di Jakarta dan Masyarakat Adat Long bentuq memberikan waktu tiga hari dengan catatan, apabila belum ada keputusan dari pimpinan PT.   SAWA masyarakat  boleh menahan alat berat perusahaan dengan perjanjian bertanda tangan  diatas materai.

PT. SAWA terus mangkir dari tuntutan Masyarakat Adat Long Bentuq. Bahkan terakhir masyarakat Adat Long Bentuq Naik kekantor PT. SAWA (25/042015) telah dijaga dua truk Brimob dan tiga Ramil Busang.

Margaretha Seting Beraan Ketua ,  Ketua BPH AMAN Kaltim memaparkan  “Selama ini memang perusahaan kelapa sawit di Kalimantan  Timur hampir rata-rata melakukan pembukaan lahan secara paksa diatas tanah adat mengakibatkan konflik dengan masyarakat adat dikarenakan tidak menghargai hak turun-temurun masyarakat adat yang mendiami sebuah daerah hanya dengan alasan perusahaan membawa kertas yang berisikan izin dari pemerintah daerah maupun pusat. Sementara lokasi HGU mereka berada di tanah adat yang dikelola turun temurun oleh masyarakat adat setempat tak sedikit masyarakat adat di iming-iming dengan bermacam-macam modus, menjanjikan kesejahteraan bahkan Intimidasi dengan aparat maupun preman sehingga masyarakat tidak berdaya serta pasrah tanahnya dirampas dengan begitu saja oleh perusahaan.” Tegas Seting

Kasus perampasan dan penggusuran paksa  PT. SAWA terhadap wilayah adat Long Bentuk terus berlanjut. Masyarakat benar – benar ingin agar perusahaan keluar dari wilayah adat Long Bentuq yang merupakan warisan leluhur mereka secara turun – temurun.

 

Pelatihan Paralegal Untuk CSO dan Masyarakat Adat di Kaltim

M.Muhdar, Prakarsa Borneo yang merupakan salah satu fasilitator pada Pelatihan Paralegal untuk CSO dan Masyarakat Adat Kaltim.

Kaltim.aman.or.id Pelatihan paralegal diselenggarakan oleh Prakarsa Borneo mulai dari 20 hingga 21 Februari 2019 di Hotel Midtown, Samarinda dengan mengundang CSO (Civil Society Organization) dan juga perwakilan masyarakat adat dan masyarakat lokal di Samarinda.

Pelatihan ini sendiri bertujuan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat dalam proses kebijakan hingga pendampingan hukum terhadap masyarakat.

Pendampingan terhadap masyarakat bisa menjadi lemah jika CSO dan rekan pendamping di masyarakat tidak memiliki kapasitas dibidang hukum dan juga peraturan, baik itu ditingkat nasional maupun ditingkat daerah terkait kasus yang dihadapi.

Terkait undang – undang dan peraturan negara yang dibahas dalam pelatihan ini, M. Muhdar selaku fasilitator memaparkan “Tidak semua peraturan negara bisa memenuhi keinginan masyarakatnya sehingga perlu ada aturan- aturan yang memang terdapat di Masyarakat.”Kata Muhdar.

Menurut mudah bahwa hukum dibuat bukan cuma untuk ketertiban tapi juga harus bisa mensejahterakan masyarakat.

Pelatihan yang berlangsung selama dua hari ini diakhiri dengan praktek penulisan kronologis kasus serta pembentukan tim paralegal kaltim yang diberi nama Kapak Borneo. Nantinya tim paralegal ini diharapkan bisa membantu masyarakat.

GAH ETENG DAN SEJARAH TURUNYA DAYAK KENYAH DI MAHAKAM

Kaltim.aman.or.id Gah Eteng merupakan salah satu tempat yang terdapat di Sungai Alan, Kampung Long Bagun, Kabupaten Mahakam Ulu.

Bagi Masyarakat Adat Long Bagun Ulu, Gah Eteng bukan hanya sekedar tempat dimana sungai alan mengalir deras di tempat ini, tapi Gah Eteng menyimpan sejarah penting asal mula perjanjian komunitas adat ini dengan Adat Dayak Kenyah yang datang jauh dari Apo/Apau Kayan hingga hadir di Wilayah Adat Long Bagun dan di tempat lain pada Das Mahakam

Hadirnya Komunitas Dayak Kenyah di Wilayah Adat Long Bagun memiliki sejarah panjang hingga komunitas ini banyak tersebar di beberapa kampung di daerah DAS Mahakam jauh dari asal mereka di Apo/Apau Kayan.

Nama Gah sendiri dalam bahasa Dayak Bahau Busang Umaq Wak berarti aliran sungai yang deras dan Eteng merupakan nama seorang dari komunitas adat Dayak yang jauh di Kalteng yang meninggal di tempat ini saat memimpin tujuh orang rekanya mencari malau di Wilayah Adat Long bagun.

Dimasa lalu di sebelum ada kampung lain disekitar Wilayah Adat Long Bagun Ulu hanya dikenal Kampung Long Bagun yang sebelumnya bernama Lirung Bok Dom. pada masa itu masa pada era kolonialisme Belanda dan masih dalam pemerintahan Kerajaan Kutai di beberapa wilayah di kaltim sehingga Belanda sendiri memiliki pos keamanan di Long Iram dengan pimpinan selevel camat ditugaskan belanda di Long Iram.

Eteng sendiri merupakan korban kayau yang saat itu marak dilakukan karena salah satu tradisi adat. Beradasarkan sejarah di komunitas, keberadaan Eteng dan beberapa anggotanya di Wilayah Adat Long Bagun untuk mencari malau yang merupakan bahan perekat dalam membuat perahu dan beberapa perekat untuk alat lain. termasuk untuk mandau yang merupakan senjata tradisional suku – suku di Kalimantan. Kejadian ini terjadi pada masa Kolonialisme Belanda di Nusantara.

Awal mula kejadian terjadi saat Masyarakat Adat di Long Bagun Ulu sedang melakukan kegiatan adat naik padi baru dengan membuat Emping. Saat warga sedang berkumpul di lamin untuk membuat emping, Rombongan Eteng datang ke Kamin Long Bagun dari tempat mereka yang jauh di kalteng meminta ijin untuk mencari Malau di Wilayah Adat Long Bagun Ulu. Kepala Adat Long Bagun Ulu pada waktu itu Liah Ding sempat memperingatkan rombongan ini untuk jangan dulu masuk ke Hutan Long Bagun karena warga sedang melakukan ritual adat padi baru takut Kepuhunan. akan tetapi Eteng sebagai pimpinan group menyakinkan Liah Ding bahwa pantangan di Kampung Long Bagun tidak akan berdampak pada kelompoknya dengan dalik mereka merupakan Dayak dari Kalteng yang berbeda komunitas dari Masyarakat Adat di Long Bagun.

Kemudian Eteng bersama rombonganya terus masuk ke dalam hutan Long Bagun untuk mencari malau yang dimulai dari muara Sungai Payang.

Sejak masuk Muara Sungai Payang, Eteng bersama rombongannya telah diincar oleh para kayau Komunitas Adat Dayak Kenyah yang sengaja turun dari wilayah adat mereka di Apo/ Apau Kayan untuk mencari kepala sebagai pelengkap tradisi ritual adat yang sedang mereka lakukan.

Dari Muara Sungai Payang Para Kayau Dayak Kenyah mengejar Eteng dan rombongan tanpa sepengetahuan Rombongan Eteng.

Sebenarnya beberapa pertanda buruk sudah terjadi mengiringi keberangkatan Eteng Bersama Rombongan, Saat berpapasan dengan warga Long Bangun yang baru pulang dari ladang. Eteng dan rombongan kembali di ingatkan dan diminta kembali. tapi tetap tetap ditanggapi dingin oleh Eteng. Padahal pada waktu itu para kayau telah mengintai mereka.

Eteng bersama rombongan akhirnya membuat pondok peristirahatan di sebelum melanjutkan perjalanan mereka.

tidak berlangsung lama, di pondok peristirahatan inilah Rombongan Eteng di sergap oleh kayau saat menjelang subuh.

Hanya satu orang yang selamat dari penyergapan Kayau karena saat kejadian sempat melompat ke Batangan Sungai Alan dan langsung menyelam kedalam sungai untuk melarikan diri walaupun sempat terkena tombak di bagian bokong. sedangkan rombongan lainya tidak bisa menyelamatkan diri termasuk Eteng selaku pimpinan mereka yang dibunuh oleh Ayau dan diambil kepalanya untuk keperluan ritual adat.

Anggota yang selamat ini akhirnya menetap di Long Bagun dan sempat menikah di Batoq Kelo.

Saat selamat dari Kayau seorang yang selamat dari rombongan eteng langsung mengabarkan ke Kampung Long Bagun. bahwa mereka telah di serang oleh orang yang tidak dikenal dan hanya dia yang selamat.

Setelah Ritual Adat Padi Baru Selesai, Rombongan Kampung Long Bagun mendatatangi tempat kejadian untuk memastikan informasi peristiwa yang mereka dapat dari salah seorang Rombongan Eteng.

Saat tiba ditempat kejadin memang sudah tidak ada lagi yang tersisa dari rombongan ini. dimana yang tersisa hanya jasat saja dan semua kepala mereka sudah dibawa habis oleh Para Ayau.

Atas kejadian ini, pihak Belanda lantas mengambil tindakan menahan semua Hipui yang ada di Mahakan yang kemudian dimasukan kedalam Sper istilah penjara pada waktu itu  yang berada di Long Iram sampai mendapatkan orang yang telah melakukan pemenggalan terhadap Rombongan Eteng. karena dianggap Para Hipui ini yang membunuh Eteng beserta rombonganya.

Pelaporan atas pembunuhan ini masih simpan siur pada waktu itu sehingga menyebabkan para Hipui di tahan oleh Belanda. sehingga pihak Belanda beranggapan bahwa Komunitas Dayak Bahau yang ada di Mahakam yang melakukan ini.

Sehingga pengurus – pengurus kampung  melakukan rapat untuk membuktikan bahwa bukan hipui mereka yang melakukan hal yang dituduhkan oleh Belanda.

Maka munculah seseorang dari Kampung Long Bagun yang bernama Ajang untuk melakukan investigasi ke Apo/Apau Kayan. karena dari awal komunitas – komunitsa adat yang adat di Mahakan sudah mencurigai bahwa salah satu Komunitas Dayak Kenyah di Apo/Apau Kayanlah yang melakukan kayau ini.

Dalam investigasinya Ajang berangkat seorang diri ke Apo/ Apau Kayan. proses ini memakan waktu lama bahkan ajang sempat menikah di tempat ini.

Setelah beberapa tahun menjalankan misinya di Apo/ Apau kayan akhirnya ajang mendapatkan informasi yang dia cari. Setelah mendapatkan informasi ini, Ajang kembali ke Long Bagun untuk menyampaikan informasi yang telah didapat.

Dari informasi yang didapat Ajang, diketahui bahwa yang membunuh Eteng beserta rombongan adalah adik dari Ngang Jalung yaitu Hivung dan Husek. Ngang Jalung sendiri merupakan Kepala Adat Dayak Kenyah di Wlayah ini yaitu Dayak Kenyak Lepoq Bem. namun dalam laporan Ajang, Ngang Jalung lah yang melakukan pembunuhan.

Ngang Jalung sendiri setelah mengetahui bahwa ajang telah mendapatkan informasi pembunuhan Robongan Eteng lantas melarikan kedua adiknya yang menjadi tersangka ini kedala hutan.

Untuk menyelesaikan kasus ini, sekitar tiga kali dalam upaya menangkap Ngan Jalung di Apo/ Apau  Kayan namun selalu gagal. karena Ngang Jalung selalu mendapat perlindungan dalam komunitasnya selaku pimpinan adat.

Akhirnya naiklah Liah Ding selaku kepala adat bersama Ingan Juk, Buk Paran, Hanyek,