Gagalnya Negara Memenuhi Konstitusi yang Melindungi Masyarakat Adat dan Mitos Kesejahteraan IKN

Oleh : Jurnalis Masyarakat Adat

 

Dokumentasi : Aksi menuntut sahkan RUU Masyarakat Adat

Hingga hari ini, masyarakat adat terus mengalami ancaman terhadap penentuan nasib sendiri, ruang hidup dan pranata-pranata sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum mereka.

Gagalnya ‘Negara’ dalam mematuhi amanat dalam konstitusi seperti yang tertuang di dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 untuk bertanggung jawab menghargai dan melindungi Masyarakat Adat.

Menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dari tahun 2014 hingga 2023 terjadi perampasan wilayah adat seluas 8,5 juta hektar, 678 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan pemiskinan terhadap perempuan adat diseluruh antero penjuru Nusantara akibat negara tidak kunjung mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

Kondisi yang dialami oleh masyarakat adat tidak lah tunggal, melainkan permasalahan yang sangat struktural. Produk kebijakan hukum yang sering memprioritaskan segelintir golongan seperti UU Cipta Kerja, UU Mineral dan Batubara serta UU IKN terus menyebabkan keterasingan terhadap Masyarakat Adat.

Dalam konteks internasional, pemenuhan hak terhadap masyarakat adat telah diatur dalam United Nations Declaration on The Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) yang telah berlaku sejak tahun 2007 dan 144 negara di dunia yang menyetujui termasuk Indonesia. UNDRIP sendiri merupakan landasan moral bagi Indonesia untuk bertanggung jawab memenuhi hak-hak dari pada masyarakat adat.

Indonesia sebagai salah satu negara yang menyetujui UNDRIP, hingga saat ini tidak memiliki niat yang serius untuk membuat Undang-Undang yang berkaitan dengan masyarakat Adat.

Dari Periode Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga masa akhir Kepemimpinan Joko Widodo, belum memiliki niatan yang kuat demi disahkannya RUU Masyarakat Adat. Padahal RUU masyarakat adat adalah dasar dan payung hukum yang bersifat kuat bagi pemenuhan hak-hak masyarakat adat.

Akibat mandegnya RUU masyarakat adat, negara gagal memenuhi tanggung jawab mereka untuk memenuhi hak masyarakat adat dan masyarakat adat terus mengalami berbagai kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah dan korporasi.

Contoh kasus yang terjadi adalah penggusuran paksa sebanyak 200 warga di Kelurahan Pemaluan, yang menjadi salah satu wilayah pembangunan IKN, yang dihuni oleh mayoritas masyarakat adat Balik dan Paser. Masyarakat adat di wilayah Pemaluan hanya diberikan waktu selama 7 hari untuk mengosongkan rumah mereka, karena dalih dari Badan Otorita IKN bahwa rumah milik masyarakat tidak memiliki ijin dan tidak sesuai dengan tata ruang pembangunan IKN.

Perampasan wilayah adat di Kalimantan Timur semakin meningkat akibat kehadiran IKN, dan sebelumnya juga terjadi akibat kehadiran berbagai ijin usaha seperti Hak Penguasaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), Pertambangan Batubara dan Perkebunan Kelapa Sawit.

Gembar-gembor Pembangunan IKN yang mengusung konsep Kota Pintar, Kota Hijau dan Kota Berkelanjutan adalah upaya penciptaan “mitos” yang dilakukan oleh pemerintah untuk mempengaruhi kesadaran masyarakat.

Hal ini persis yang dilakukan oleh perusahaan ketika masuk ke suatu wilayah, mereka menyajikan data statistik yang mereka buat sendiri yang menyatakan bahwa wilayah tersebut miskin dan solusinya adalah pembangunan. Kemudian membangun artikulasi bahwa pembangunan tersebut baik dan berlandaskan pada kajian akademis/ilmiah.

Padahal kalau kita mau membaca saja karya dari seorang bernama Karl Popper yang memperkenalkan konsep “falsifikasi” memiliki arti bahwa sesuatu dapat dikatakan ilmiah atau benar menurut kaidah keilmuan jika hal itu dapat disangkal kebenarannya.

Selama kurun waktu hampir 4 tahun pembangunan IKN, pihak otorita tidak bisa membantah adanya pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat.

Apalagi mengusung jargon Pembangunan Berkelanjutan yang salah satu prinsipnya tidak meninggalkan satu orangpun di belakang, tetapi tidak pernah memperhatikan suara masyarakat adat apakah mereka menerima atau menolak pembangunan IKN di wilayah adat mereka. Apalagi menggunakan prinsip FPIC (Free and Prior Informed Consent.

Yang ada hanyalah bentuk-bentuk akumulasi perampasan seperti pemusatan kekuasaan dan kekayaan disegelintir tangan orang dengan mengambil alih tanah milik masyarakat adat dan memutuskan keterikatan hubungan masyarakat adat dengan sumber penghidupan mereka seperti tanah yang memiliki ikatan spritual dan historis bagi masyarakat adat.

Akumulasi Perampasan mengingatkan kita pada cara-cara kolonial dulu dalam menguasai lahan milik masyarakat adat dengan undang-undang agrarianya yang di dalamnya memiliki konsep dengan nama “domein verklaring” yang berbunyi “apabila masyarakat tidak bisa membuktikan hak eigendom (hak milik) atas tanah maka negara boleh mengambil tanah tersebut”.

Ini ciri khas cara pandang kolonial terdahulu, meminjam pandangan dari Naomi Klein bahwa Kolonialisme selalu memandang suatu wilayah itu sebagai ruang kosong tanpa tuan (Terra Nullius), maka dari itu wilayah tersebut dapat dieksploitasi sedemikian rupa.

Ini dibuktikkan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2024 Tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Presiden mengobral Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 Tahun dan Hak Guna Bangunan (HGB) selama 160 Tahun pada para investor untuk menarik minat mereka membangun IKN.

Kemudian, privatisasi terhadap Sumber Daya Alam, Sungai Sepaku yang dimanfaatkan sejak dahulu oleh Masyarakat Adat Balik sebagai sarana membangun kehidupan dan sarana mereka membangun peradabannya, kini tidak dapat lagi digunakan oleh Masyarakat Adat Balik.

Dokumentasi :Anak Kecil Sepaku sedang termenung melihat sekeliling sungainya telah dipagari oleh beton untuk proyek Pembangunan Intake

Sungai Sepaku sepenuhnya telah dibendung untuk digunakan sebagai air baku yang dialirkan ke kantor-kantor pejabat IKN. Akibatnya berbagai jenis ikan lenyap seperti Ikan Siaran, ikan endemik khas Sungai Sepaku. Kemudian berbagai situs sejarah lenyap, seperti Bato Badok dan Batu Sekiur. Serta ritual yang berhubungan dengan sungai pun terancam lenyap seperti Jakit dan Ancak yang bertujuan untuk membayar niat pada penguasa sungai yang Masyarakat Balik sebut sebagai Tondoi.

Bawe salah seorang Perempuan adat Sepaku menyatakan dengan nada lirih “bagi kami kekerasan itu tidak hanya yang terjadi dalam rumah tangga, tetapi hancurnya hutan, hilangnya tanah, dan Sungai juga kekerasan bagi kami kaum Perempuan”.

Hal teranyar yang kini sedang terjadi adalah masyarakat Sepaku kesulitan mendapatkan air bagi kebutuhan hariannya, kini mereka sepenuhnya harus membeli air tandon yang berkapasitas 1200 liter dengan merogoh kocek 80 hingga 100 ribu.

Dalam seminggu saja masyarakat bisa menghabiskan 2 hingga 3 tandon, artinya masyarakat harus menggeluarkan dana tambahan sebesar 300 ribu dalam seminggu. Kalaupun masyarakat tidak mampu membeli air tandon, maka mereka memutuskan untuk menampung air hujan dalam wadah-wadah yang mereka sediakan sendiri.

Dalam teori ekonomi, belanja rumah tangga yang begitu besar untuk kebutuhan pokok menujukkan ‘arus kelebihan keluar’. Ini terlihat pada Kampung Sepaku Lama, masyarakatnya membelanjakkan uangnya dalam jumlah besar bagi kebutuhan pangan dan energi, memperlihatkan bahwa Sepaku menuju ‘proses pemiskinan’.

Alih-alih menawarkan solusi yang dapat menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh Masyarakat Adat Balik dan Masyarakat Sepaku pada umumnya. Deputi Otorita Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat, malah menawarkan satu program yang bernama ‘Living Museum’ ini merupakan program yang dirancang oleh Deputi untuk membuat kampung Sepaku Lama sebagai Museum Kehidupan, dengan masyarakatnya menampilkan berbagai kebudayaan yang berwatakkan komodifikasi.

Dengan nada sinis salah seorang Pemuda Adat Suku Balik bernama Song menanyakan program tersebut “apa kah kami ini nantinya seperti masyarakat purba yang dipajang di Museum, lalu para pengunjung dari luar datang untuk menonton kami? Padahal kebudayaan kami itu terbangun dari hutan yang telah dirusak oleh korporasi monokuktur, tanah yang terancam oleh pembangunan IKN, dan sungai yang sepenuhnya telah di tutup demi pembangunan IKN”.

Ini mengingatkan Pada suatu kisah, pada masa pemerintahan Ratu Katharin di Rusia, ia memiliki seorang perdana menteri yang bernama Potemkin.

Ratu Katharin suka blusukan ke desa-desa sekitar istana, untuk mensiasati desa-desa miskin dan kumuh tersebut, Perdana Menteri suka mengibuli sang ratu dengan menyulap desa-desa miskin dan kumuh tersebut itu menjadi megah agar ratu terkesan. Setelah selesai kunjungan di desa-desa tersebut, Potemkin kemudian membuka borok asli desa tersebut.

Belum lagi persoalan lain yang masih menghinggapi kehidupan Masyarakat Adat Balik hingga sekarang yaitu pelarangan membuka ladang dengan cara membakar sejak tahun 2018 silam.

Kala itu spanduk terbentang di halaman depan rumah Kepala Adat Suku Balik Sepaku yang dipasang oleh pihak keamanan. Pemasangan spanduk itu bagai petir menyambar di siang bolong, kearifan lokal yang telah dilakukan semenjak ratusan tahun lalu, kini dilarang untuk dilakukan.

Kakah salah satu tokoh masyarakat adat Sepaku menanyakan kebijakan larangan tersebut “Kenapa kami di larang untuk berladang? Padahal ratusan tahun sudah kami berladang ini, tidak pernah terjadi kebakaran hutan, kalau dilarang berladang sama saja hilang juga berbagai ritual kami”.

Dokumentasi: Spanduk larangan membuka lahan dengan membakar

Tulisan dalam spanduk itu bertuliskan Sanksi Pidana :  Dengan bunyi ” Barang siapa sengaja melakukan pembakaran hutan dan lahan ancaman pidana penjara selama 12 tahun (pasal 187 KUHP). Kemudian “Ancaman hukuman 15 tahun dan denda 15 milyar (Pasal 98 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

Ini merupakan ironi yang harus dialami oleh Masyarakat Adat Balik. Pelarangan berladang merupakan cerminan tak pahamnya pemerintah dan aparat keamanan terhadap kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat.

Bicara soal perladangan tak hanya bisa sebatas hal-hal yang dapat dikuantifikasi atau hanya soal perut semata. Tetapi perladangan secara jelas menunjukkan bahwa itu merupakan sarana masyarakat dalam membangunan kebudayaannya, yang terjalin satu sama lain dalam rangkaian siklus perladangan itu sendiri.

Rangkaian siklus perladangan tersebut terdiri dari: 1) Memeriksa Lahan (Noyo Tana’), 2)Merintis Lahan (Merebes), 3) Menebas (Mebas), 4) Menebang (Nowong), 5) Bakar Ladang (Nutung), 6 Menanam Bibit Padi (Nasok), 7) Merumput di Ladang (Ngedikut Pare), 8) Membuat Emping ( Nampa Opes), 9) Panen (Ngotom Pare).

Akibatnya kebutuhan pangan yang diperoleh dari hasil berladang harus hilang. Perladangan Masyarakat Adat Balik tak hanya menanam satu jenis komoditas seperti Padi saja. Tetapi berbagai komoditas ditanam pula, seperti sawi, bayam, rebung, labu, timun dan berbagai jenis sayuran tradisional lainnya.

Meminjam istilah Peneliti dan Aktivis Sosial dari Negara Guam, yaitu Craig Santos Perez. Ia memakai istilah Gastro Kolonialisme (penjajahan pangan) untuk menggambarkan ketergantungan masyarakat Hawai terhadap produk pangan yang bernilai rendah, akibatnya memicu kekurangan gizi dan penyakit masyarakat perkotaan.

Ini pula yang terjadi pada Masyarakat Adat Balik akibat pelarangan pembukaan ladang dengan cara membakar, berbagai pangan tradisional yang dihasilkan dari ladang hilang. Akibatnya Masyarakat Balik lebih banyak mengkonsumsi produk instan seperti Mie, Kopi Sachet, Ikan Kaleng dan berbagai produk pangan buatan perusahaan.

Penjajahan pangan pun terjadi pada Kuliner Ritual orang Balik, contoh sederhana adalah pada tiap ritual Orang Balik wajib tersedianya kopi hitam asli, kini kopi itu beralih pada kopi hitam sachet.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *