Ibu Kota Nusantara bukan untuk Masyarakat Adat

Oleh : Dede Wahyudi
Biro politik Kebijakan dan Advokasi Hukum
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim

 

Dokumentasi : Masa depan Air bersih Masyarakat Adat sepaku yang dinodai oleh proyek IKN.

”Bagi saya kehadiran IKN malah menjadi ancaman bagi eksistensi masyarakat adat balik, IKN hanya proyek ambisius yang justru menjadi alat genosida terhadap kulture masyarakat adat balik”.

Sejak ditetapkannya pemindahan ibu kota baru ke kalimantan tepatnya di kabupaten Penajam Paser Utara penyangkalan terhadap keberadaan masyarakat adat menjadi ancaman tersendiri. Hal ini berangkat dari tidak ada upaya pengakuan dan pemulihan hak masyarakat adat yang berada di IKN.

Sejak ditetapkan hingga saat ini belum ada upaya konkrit yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat yang ada di wilayah IKN. Beberapa hal yang menjadi problematika dalam pemindahan IKN adalah tidak ada ruang pastisipasi bermakna bagi komunitas masyarakat adat yang ada di sana, seharusnya sebelum pemindahan IKN dan dalam proses pembangunan IKN harus ada civil space bagi komunitas masyarakat adat yang salah satunya adalah partisipasi dan transparansi informasi dalam setiap perencanaan pembangunan IKN. Hal ini merupakan konsekuensi bahwa komunitas masyarakat adat balik adalah pemilik sah wilayah adat yang saat ini menjadi tempat pembangunan IKN.


Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) setidaknya ada 4 komunitas masyarakat adat yang wilayah adat mereka diambil untuk pembangunan IKN yaitu Tompong Sepaku, Kampong Pemaluan, Kampong Mentawer dan Kampong Maridan. Selama ini komunitas masyarakat adat yang berada di wilayah IKN tersebut telah menempati wilayah tersebut secara turun temurun bahkan sebelum indonesia merdeka dan memiliki sejarah dalam pengolahan wilayah adat mereka.

Namun penyangkalan demi penyangkalan terus terjadi dalam setiap pembangunan IKN, hal ini terlihat dari beberapa kebijakan dalam pembangunan IKN yang tidak mengakomodir perlindungan dan pemulihan hak masyarakat adat, bahkan dampak  dari pembangunan IKN menyebabkan beberapa situs budaya dan spiritual milik komunitas masyarakat adat hilang karena pembangunan IKN.


Dalam kacamata lain saat ini belum ada regulasi yang mampu memproteksi hak-hak masyarakat adat dalam pembangunan IKN, apabila dilihat dari regulasi IKN pun tidak ada produk hukum yang menjamin perlindungan dan pemulihan hak komunitas masyarakat adat yang terdampak pembangunan IKN. Namun yang terjadi hanyalah proteksi terhadap kepentingan investor akan tetapi meninggalkan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.

Pada lanskap lain, pemberian hutan riset kepada beberapa universitas juga menjadi paradoks bagi masyarakat adat. Bagaimana mungkin komunitas masyarakat adat baik yang telah lama mendiami wilayah adatnya yang sekarang menjadi tempat pembangunan IKN hingga saat ini belum memiliki pengakuan terhadap hutan mereka.


Sehingga perlu di garis bawahi bahwa keberadaan komunitas masyarakat adat telah ada jauh sebelum indonesia merdeka. Bila kita berpatokan dengan UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat dan hak tradisionalnya. Dalam UNDRIP (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples atau Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tentang Hak-Hak Masyakat Adat)  juga mengatur hak-hak masyarakat adat atas wilayah adatnya. Sehingga pemerintah harusnya peka terhadap persoalan ini.

Tidak ada nya pengakuan dan perlindungan terhadap komunitas masyarakat adat melalui SK kepala daerah tidak lantas kemudian membuat komunitas masyarakat adat tersebut tidak ada. Oleh sebab itu, ketiadaan pengakuan dan pemulihan hak komunitas masyarakat adat menjadi legitimasi genosida terhadap kulture masyarakat adat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *