AMAN KALTIM Membuat FGD di Kubar Undang Panitia Masyarakat Adat di hadiri oleh Wakil Bupati

Penulis: Dede Wahyudi

FOKUS GRUP DISKUSI (FGD) PERCEPATAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT DI KUTAI BARAT

Kabupaten Kutai Barat, yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur, merupakan wilayah yang kaya akan keanekaragaman budaya dan lingkungan. Namun, seiring dengan perkembangan dan tekanan pembangunan, masyarakat adat di wilayahnya menghadapi berbagai tantangan signifikan. Apabila kita menelisik lebih jauh amanat konstitusi kita telah menegaskan bahwa negara mengakui dan melindungi hak-hak tradisional masyarakat adat. Selain itu pula dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat mengamanatkan kepada seluruh pemerintah daerah untuk melakukan pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat(MA) melalui surat keputusan kepala daerah.

Melihat dari kondisi ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengadakan Focus Group Discussion dengan pembahasan Percepatan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kutai Barat. FGD tersebut dilaksanakan di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK) Kutai Barat Senin (15/72024).

FGD ini mempertemukan pihak-pihak yang berkaitan dengan pembahasan Percepatan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kutai Barat. Narasumber yang dihadirkan diantaranya ialah Saiduani Nyuk sebagai Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Timur, Dinas Pemberdayaan  Masyarakat dan Kampung Kabupaten Kutai Barat, Perwakilan dari kampung Muara Tae, Sembuan,Dingin, Jontai, Lambing.

Peserta yang hadir ialah Pengurus Wilayah AMAN Kaltim, Wakil Bupati Kutai Barat, Sekretaris Daerah Kabupaten Kutai Barat, Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Kutai Barat, DPMK, DLH Kabupaten Kutai Barat, Komunitas Masyarakat Adat, Pengurus Daerah AMAN Kutai Barat.

Dalam sambutannya, H. Edyanto Arkan, S.E Wakil Bupati Kutai Barat menekankan pentingnya percepatan penerbitan peraturan daerah (Perda) yang mengakui Masyarakat Adat. Beliau menggaris bawahi bahwa setelah Perda diterbitkan, perlu segera dilakukan sosialisasi baik di tingkat Mahkamah Agung maupun di tingkat nasional. Beberapa daerah yang telah berhasil mengimplementasikan pengakuan Masyarakat Adat dapat dijadikan sebagai contoh, dengan mengambil praktik baik dari mereka. Selain itu, beliau menekankan pentingnya setiap individu untuk mematuhi kearifan lokal dan budaya sebagai bentuk penghormatan terhadap Masyarakat Adat.

Dalam Pemaparan awal, Saiduani Nyuk membahas dasar-dasar pengakuan Masyarakat Adat untuk Panitia Kutai Barat. Dia menyoroti tantangan dalam menetapkan MA, termasuk keluhan dari komunitas yang merasa dipersulit oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) provinsi. Contoh dari MHA di Papua juga diangkat, dimana terdapat empat kampung yang telah diakui tanpa masalah. Dia menekankan pentingnya keterlibatan Camat sebagai panitia MA dengan dukungan Surat Keputusan (SK) dari Bupati. Selain itu, permasalahan peta wilayah adat dan historis juga perlu dikonfirmasi melalui musyawarah adat.

Dilanjutkan oleh DPMK Kutai Barat, Perwakilan dari DPMK Kutai Barat menyampaikan bahwa sudah ada beberapa pengusulan terkait pengakuan hukum adat bersama tim hukum adat. Kabupaten Kutai Barat merupakan wilayah keempat di provinsi Kalimantan Timur dengan wilayah terluas berada di Bongan. Permasalahan utama dalam PPMHA di Kutai Barat meliputi minimnya tenaga teknis dan kurangnya pengetahuan panitia, kesulitan mendapatkan data dan informasi tentang komunitas MA, serta minimnya literasi mengenai tata cara penyusunan data sosial etnografi MA.

Sementara itu, Tanggapan dari pemerintahan menyatakan bahwa hingga saat ini, dari 190 kampung dan 4 kelurahan di Kutai Barat, baru tiga kampung yang telah diakui, yaitu Kampung Siluq Murai. Terkait dengan batas wilayah, terdapat 30 segmen batas di Kecamatan Siluq Murai yang sudah ditetapkan. Dan perwakilan pemerintah memberikan saran untuk peningkatan sosialisasi dan fasilitas bagi MA agar mereka lebih memahami proses pengakuan dan menurutnya diperlukannya satu pasal dalam penerapan SK yang langsung mengatur wilayah MA dan penetapan batas wilayah di masing-masing kampung untuk menghindari konflik.

Di Kesempatan yang sama, Perwakilan kampung sembuan menyatakan kampung Sembuan dan Lingai mengalami konflik batas wilayah yang terus berulang karena kurangnya partisipasi dalam pertemuan kampung. Hal ini menyebabkan seringnya perubahan batas wilayah adat dan kurangnya dukungan dari para petinggi kampung.

Wakil Bupati memberikan tanggapan mengenai Perselisihan Batas Wilayah Adat Sembuan Wakil Bupati menekankan pentingnya peran aktif Camat dalam penyelesaian batas wilayah adat, dengan menetapkan patok atau gapura sebagai tanda batas yang jelas.

FGD ini menjadi langkah awal yang penting dalam proses pengakuan MA di Kutai Barat. Diharapkan melalui kerja sama semua pihak, berbagai tantangan yang ada dapat diatasi, dan pengakuan terhadap MA dapat segera terwujud.

 

Infokom PW. AMAN Kaltim

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *