Masyarakat Adat di Kalimantan Timur Menggugat Ajaran-Ajaran Manajemen dan Bisnis: Suara dari Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik, Sumping Layang Kutai Adat Lawas, dan Benuaq Muara Tae

Penulis Oleh: Hardo Manik

Perkenalkan, namaku Hardo Manik, dosen Prodi Manajemen, Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta dan sekarang sedang studi S3 di Sekolah Bisnis, University of Queensland, Australia. Aku baru saja selesai melakukan penelitian di tiga Komunitas Masyarakat Adat yang merupakan anggota-anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur: Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik di Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (sekarang Ibu Kota Nusantara); Komunitas Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang Kedang Ipil di Kabupaten Kutai Kartanegara; dan Komunitas Masyarakat Adat Benuaq Muara Tae di Kabupaten Kutai Barat. Salam takzim untuk para leluhur dari tiga Komunitas ini yang telah mewariskan wilayah adat dan kearifan-kearifan yang tak ternilai harganya demi bumi yang adil dan lestari. Terima kasih banyak juga untuk kawan-kawan Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Timur yang berkenan mendukung proses penelitian ini.

Tiga komunitas tersebut berjuang mempertahankan wilayah dan kearifan adat dari kepungan perusahaan-perusahaan pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berkebun secara monokultur, seperti eukaliptus dan sawit, dan juga perusahaan tambang. Perusahaan-perusahaan ini menguasai konsesi beratus ribu hektar di tengah masyarakat yang wilayah adatnya makin menyempit, di tengah lahan milik petani yang bahkan kadang tidak mencapai 1 hektar per orang. Sungguh sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” hanyalah omong kosong.

Kegitan Penelitian Langsung Dikomunitas Adat Balik Sepaku

Namun, menghadapi kepungan-kepungan tersebut, aku menyaksikan para figur tiga komunitas tersebut, termasuk perempuan dan pemuda adat, yang kritis terhadap kuasa-kuasa yang menindas. Para perempuan adat dari Komunitas Masyarakat Suku Balik bahkan mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan hanya tentang kekerasan dalam rumah tangga dari suami, tetapi juga kekerasan negara dan perusahaan terhadap hancurnya hutan, sungai dan tanah sebagai sumber penghidupan. Aku kadang malu sendiri karena kalah kritis padahal berasal dari kampus yang (harusnya) adalah tempat menyuarakan suara-suara keberpihakan terhadap masyarakat tertindas, bukan menjadi stempel kebijakan penguasa dan pengusaha. Secara khusus, situasi bertambah berat bagi Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik karena harus menghadapi pihak Otorita IKN demi mendapatkan pengakuan dan perlindungan supaya mereka tidak digusur dari ruang hidup yang sudah turun temurun mereka tempati. Tiga komunitas tersebut menjalankan banyak strategi perjuangan, mulai dari menampilkan ritual-ritual adat; mendokumentasikan kembali bahasa Balik yang hampir punah (khusus untuk Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik); dialog dan mediasi dengan pemerintah dan perusahaan, unjuk rasa, berjejaring dengan media dan organisasi-organisasi pendamping, kampanye media sosial, mengembangkan kelompok usaha, dan lain sebagainya. Para pejuang tersebut banyak sekali menggugat ajaran-ajaran manajemen dan bisnis yang sekarang dipakai dalam pengambilan keputusan di organisasi-organisasi, termasuk perusahaan dan pemerintahan. Mereka adalah Profesor-Profesorku.

Dalam banyak pembelajaran manajemen dan bisnis di kampus, selama ini aku belajar bahwa:

  1. Mencari laba sebesar mungkin adalah prioritas, tidak peduli sebagian besar laba tersebut masuk ke kantong pemilik modal yang adalah para orang terkaya di Republik ini. Atas nama tujuan tersebut, tujuan sosial dan lingkungan dapat disusulkan.
  2. Atas nama efisiensi, yang kita perlu dukung adalah perkebunan dengan satu jenis tanaman produksi saja secara besar-besaran. Setelah itu, buat saja laporan keberlanjutan tahunan dan semua yang dituliskan di dalamnya baik-baik saja seolah-olah tidak ada dosa.
  3. Dana sosial perusahaan cukup untuk mengganti kerusakan alam dan budaya akibat operasi perusahaan. Berikan sembako dan beasiswa atau perbaiki jalan lokal akan cukup menjadi klaim bahwa perusahaan sudah ‘berkelanjutan’.
  4. Bekerja yang sah dianggap bekerja adalah yang bekerja di perusahaan. Jadi menjadi ‘budak korporat’ adalah impian kami. Semua tujuan pembelajaran di kurikulum ditujukan untuk itu. Yang perlu diundang dalam seminar motivasi sukses atau seminar kewirausahaan di kampus adalah direktur atau manajernya. Tidak perlu mengundang buruh atau masyarakat adat karena tidak cocok dianggap ‘sukses’.
  5. Kami menghayati teori pemangku kepentingan: siapa pihak yang punya kepentingan dan kuasa yang kuat menjadi pusat semuanya. Dengan kata lain, negara dan korporasi adalah pusatnya. Jadi, tidak perlu minta izin ke Masyarakat Adat terkait penggunaan wilayah adat atas nama negara. Anggap saja wilayah adat sebagai tanah tak bertuan yang nantinya akan diambil oleh negara melalui alat-alatnya, seperti Bank Tanah, untuk didistribusikan ke pihak lain.
  6. Masyarakat Adat adalah orang-orang ketinggalan zaman dan tidak punya pengetahuan apapun yang layak untuk dipelajari. Mereka tidak modern. Negara dan perusahaan adalah yang paling paham semuanya, termasuk mendikte apa yang terbaik untuk Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat dari tiga komunitas tersebut kemudian menggugat ajaran-ajaran manajemen dan bisnis tersebut:

  1. Untuk apa laba tinggi, yang diperkaya hanya segelintir orang. Untuk apa laba tinggi sementara alam dan budaya rusak.  Mereka hanya mendapatkan sungai yang kotor, banjir, penyakit, dan hilang sumber penghidupan sementara segelintir orang kaya itu enak-enak hidup mewah dan malah memanipulasi pajak.
  2. Leluhur mereka mengajarkan bahwa keberagaman adalah fondasi dasar ekosistem kehidupan yang sehat, seimbang, dan lestari. Hutan adat menyediakan beragam tanaman dan hewan yang hidup berdampingan dengan manusia secara timbal balik. Klaim keberlanjutan di atas sistem tanam satu jenis adalah pembodohan.
  3. Seberapapun besar dana-dana sosial perusahaan, tidak akan cukup mengganti kerusakan hutan adat yang selama ini mereka jaga kelestariannya. Itu tidak cukup juga mengganti rusaknya kekerabatan dan hilangnya ritual-ritual adat mereka. Hutan adat adalah kesatuan holistik dari kehidupan mereka mulai dari identitas budaya, tata kelola arif, ruang sosial, ritual adat, ruang ekonomi, bahkan politik. Kesatuan itu tidak pantas disederhanakan dengan kacamata kuda melalui aspek ekonomi saja dengan ganti rugi atau ganti untung.
  4. Bagi mereka, klaim negara dan perusahaan terkait pembukaan lapangan kerja adalah mitos. Apakah mereka yang adalah petani/nelayan tidak dianggap bekerja? Memangnya selama ini mereka menganggur? Apakah yang disebut bekerja harus menjadi buruh di perusahaan yang merampas tanah mereka sendiri? Organisasi Buruh Internasional sudah mengakui bahwa pekerjaan tradisional seperti petani adalah juga pekerjaan yang harus diakui dan dilindungi. Definisi tradisional bukan primitif atau jadul tetapi turun temurundengan kearifannya.
  5. Mereka menyatakan diri sebagai pemegang hak (rightsholder) bukan pemangku kepentingan dari perusahaan dan negara (stakeholders). Mereka punya hak atas wilayah adat yang sudah dikelola secara turun temurun dan lestari. Leluhur mereka hidup di wilayah itu jauh sebelum kerajaan-kerajaan, negara, dan perusahaan eksis di situ. Siapapun yang ingin masuk ke wilayah adat, mereka tuntut harus beretika dengan meminta izin terlebih dahulu. Mereka juga punya kedaulatan untuk menolak. Sebagai pemegang hak, mereka akan berjuang mempertahankannya supaya anak cucu sejahtera.
  6. Mereka punya pengetahuan dan kearifan adat turun-temurun untuk menjaga alam. Malah sekarang banyak pihak berseru bahwa Masyarakat Adat adalah salah satu harapan utama mengatasi krisis iklim.  Bagi mereka, jika ‘modern’ atau ‘maju’ adalah label-label untuk melestarikan eksploitasi dan penindasan, maka harus dilawan. Mereka juga belajar ilmu hukum kritis, pendidikan politik, ekonomi, dan banyak ilmu lainnya yang relevan untuk perjuangan mereka difasilitasi oleh banyak organisasi yang peduli, seperti AMAN, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan lain-lain. Negara dan para korporasi tidak perlu mendikte mereka tentang bekerja dan mengelola alam. Malah, negara, kampus, dan korporasi yang harus belajar dari mereka.

Menguatkan Hubungan Kampus dan Komunitas

Sungguh, setelah mendengarkan para pejuang tersebut dan menyaksikan situasi berat ruang hidup mereka di wilayah adat masing-masing, aku berpikir apa yang bisa dilakukan di Fakultas Bisnis tempatku mengajar. Secara khusus, aku kira perlu untuk mengulas kembali kurikulum manajemen dan bisnis kami tentang ilmu-ilmu merusak apa yang selama ini sudah diajarkan. Aku juga ingin melibatkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara untuk mengembangkan kurikulum manajemen dan bisnis yang didesain bersama untuk meruntuhkan ajaran-ajaran tersebut. Misalnya, mata kuliah Prinsip Bisnis atau Prinsip Manajemen atau Etika Bisnis dapat utamanya mengangkat pengetahuan dan kearifan Masyarakat Adat dalam mengelola tata ruang adat secara produktif, lestari, dan menyejahterakan semuanya. Buku-buku teks bisnis dari Amerika Serikat yang banyak dipakai dapat diganti dengan bacaan-bacaan yang dikembangkan bersama secara kontekstual dan kritis. Pengajar kelas-kelas pun dapat melibatkan para tokoh adat dan aktivis AMAN secara langsung dan terlibat mengevaluasi kelas untuk penilaian.

Dok. Saat Diskusi di Gerai AMAN Kaltim dengan Komunitas Adat IKN. Sekaligus Diskusi Kamus Suku Balik

Kerjasama tersebut juga dapat mengembangkan materi-materi yang mendukung Ilmu Pulang, suatu ilmu yang dipromosikan oleh AMAN agar para pemuda adat kembali ke kampung masing-masing mempertahankan dan mengelola wilayah adat. Salah satu caranya adalah dengan bersama-sama mengembangkan silabus dan materi kewirausahaan sosial yang fokus pada pendirian dan pengembangan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat dan Koperasi Produksi untuk kemandirian ekonomi Komunitas Masyarakat Adat masing-masing. Pemikiran-pemikiran Bung Hatta tentang Koperasi dan Ekonomi Kerakyatan harus ditempatkan lagi di panggung utama diskusi di kelas tersebut dengan menjadikan buku-buku tulisan beliau sebagai referensi utama lagi.

Demikian refleksiku. Panjang umur perjuangan!

3 Replies to “Masyarakat Adat di Kalimantan Timur Menggugat Ajaran-Ajaran Manajemen dan Bisnis: Suara dari Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik, Sumping Layang Kutai Adat Lawas, dan Benuaq Muara Tae”

  1. Terima kasih bang ARDO yang mau membantu menyuarakan apa yang jadi pemikiran kami masyarakat ADAT .
    Kami sangat berharap kedepan akan banyak generasi seperti bang ARDO yang mau berfikir dari kacamata masyarakat ADAT . Salam perjuangan masyarakat Adat semoga bang ARDO MANIK selalu di beri kesehatan dan kesuksesan

  2. Saya mengajarkan tujuan perusahaan bukan memaksimumkan keuntungan tapi nilai perusahaan
    Maksimisasi nilai perusahaan tercapai bila perusahaan juga mensejahterakan semua pemangku kepentingan
    Di pembahasan MK lbh dalam diperlihatkan perusahaan bisa rugi tp tetap bertahan (berkelanjutan) asal cash flow positif atau cash flow negatif pun tetap bisa bertahan asal ROCE >WACC

    Jadi kuncinya meminimalkan wacc bukan memaksimalkan keuntungan
    Saat wacc minimal maka nilai perusahaan maksimal

    Smt ini sy sedang pennelitian CRS perusahaan
    Beberapa penelitian sy yg sdh lama menyimpulkan CRS yg sdh dilakukan perusahaan tdk mempengaruhi nilai perusahaan
    Hal ini mendukung pernyataan bpk di atas bahwa CSR yg dilakukan perusahaan bkn untuk mensejahterakan masyarakat di sekitar proyek tp baru sebatas menjalankan CSR krn keajaiban dr pemerintah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Masyarakat Adat di Kalimantan Timur Menggugat Ajaran-Ajaran Manajemen dan Bisnis: Suara dari Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik, Sumping Layang Kutai Adat Lawas, dan Benuaq Muara Tae

Masyarakat Adat di Kalimantan Timur Menggugat Ajaran-Ajaran Manajemen dan Bisnis: Suara dari Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik, Sumping Layang Kutai Adat Lawas, dan Benuaq Muara Tae

Oleh: Hardo Manik

Perkenalkan, namaku Hardo Manik, dosen Prodi Manajemen, Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta dan sekarang sedang studi S3 di Sekolah Bisnis, University of Queensland, Australia. Aku baru saja selesai melakukan penelitian di tiga Komunitas Masyarakat Adat yang merupakan anggota-anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur: Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik di Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (sekarang Ibu Kota Nusantara); Komunitas Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang Kedang Ipil di Kabupaten Kutai Kartanegara; dan Komunitas Masyarakat Adat Benuaq Muara Tae di Kabupaten Kutai Barat. Salam takzim untuk para leluhur dari tiga Komunitas ini yang telah mewariskan wilayah adat dan kearifan-kearifan yang tak ternilai harganya demi bumi yang adil dan lestari. Terima kasih banyak juga untuk kawan-kawan Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Timur yang berkenan mendukung proses penelitian ini.

 

 

Tiga komunitas tersebut berjuang mempertahankan wilayah dan kearifan adat dari kepungan perusahaan-perusahaan pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berkebun secara monokultur, seperti eukaliptus dan sawit, dan juga perusahaan tambang. Perusahaan-perusahaan ini menguasai konsesi beratus ribu hektar di tengah masyarakat yang wilayah adatnya makin menyempit, di tengah lahan milik petani yang bahkan kadang tidak mencapai 1 hektar per orang. Sungguh sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” hanyalah omong kosong.

Namun, menghadapi kepungan-kepungan tersebut, aku menyaksikan para figur tiga komunitas tersebut, termasuk perempuan dan pemuda adat, yang kritis terhadap kuasa-kuasa yang menindas. Para perempuan adat dari Komunitas Masyarakat Suku Balik bahkan mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan hanya tentang kekerasan dalam rumah tangga dari suami, tetapi juga kekerasan negara dan perusahaan terhadap hancurnya hutan, sungai dan tanah sebagai sumber penghidupan. Aku kadang malu sendiri karena kalah kritis padahal berasal dari kampus yang (harusnya) adalah tempat menyuarakan suara-suara keberpihakan terhadap masyarakat tertindas, bukan menjadi stempel kebijakan penguasa dan pengusaha. Secara khusus, situasi bertambah berat bagi Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik karena harus menghadapi pihak Otorita IKN demi mendapatkan pengakuan dan perlindungan supaya mereka tidak digusur dari ruang hidup yang sudah turun temurun mereka tempati. Tiga komunitas tersebut menjalankan banyak strategi perjuangan, mulai dari menampilkan ritual-ritual adat; mendokumentasikan kembali bahasa Balik yang hampir punah (khusus untuk Komunitas Masyarakat Adat Suku Balik); dialog dan mediasi dengan pemerintah dan perusahaan, unjuk rasa, berjejaring dengan media dan organisasi-organisasi pendamping, kampanye media sosial, mengembangkan kelompok usaha, dan lain sebagainya. Para pejuang tersebut banyak sekali menggugat ajaran-ajaran manajemen dan bisnis yang sekarang dipakai dalam pengambilan keputusan di organisasi-organisasi, termasuk perusahaan dan pemerintahan. Mereka adalah Profesor-Profesorku.

Dalam banyak pembelajaran manajemen dan bisnis di kampus, selama ini aku belajar bahwa:

  1. Mencari laba sebesar mungkin adalah prioritas, tidak peduli sebagian besar laba tersebut masuk ke kantong pemilik modal yang adalah para orang terkaya di Republik ini. Atas nama tujuan tersebut, tujuan sosial dan lingkungan dapat disusulkan.
  2. Atas nama efisiensi, yang kita perlu dukung adalah perkebunan dengan satu jenis tanaman produksi saja secara besar-besaran. Setelah itu, buat saja laporan keberlanjutan tahunan dan semua yang dituliskan di dalamnya baik-baik saja seolah-olah tidak ada dosa.
  3. Dana sosial perusahaan cukup untuk mengganti kerusakan alam dan budaya akibat operasi perusahaan. Berikan sembako dan beasiswa atau perbaiki jalan lokal akan cukup menjadi klaim bahwa perusahaan sudah ‘berkelanjutan’.
  4. Bekerja yang sah dianggap bekerja adalah yang bekerja di perusahaan. Jadi menjadi ‘budak korporat’ adalah impian kami. Semua tujuan pembelajaran di kurikulum ditujukan untuk itu. Yang perlu diundang dalam seminar motivasi sukses atau seminar kewirausahaan di kampus adalah direktur atau manajernya. Tidak perlu mengundang buruh atau masyarakat adat karena tidak cocok dianggap ‘sukses’.
  5. Kami menghayati teori pemangku kepentingan: siapa pihak yang punya kepentingan dan kuasa yang kuat menjadi pusat semuanya. Dengan kata lain, negara dan korporasi adalah pusatnya. Jadi, tidak perlu minta izin ke Masyarakat Adat terkait penggunaan wilayah adat atas nama negara. Anggap saja wilayah adat sebagai tanah tak bertuan yang nantinya akan diambil oleh negara melalui alat-alatnya, seperti Bank Tanah, untuk didistribusikan ke pihak lain.
  6. Masyarakat Adat adalah orang-orang ketinggalan zaman dan tidak punya pengetahuan apapun yang layak untuk dipelajari. Mereka tidak modern. Negara dan perusahaan adalah yang paling paham semuanya, termasuk mendikte apa yang terbaik untuk Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat dari tiga komunitas tersebut kemudian menggugat ajaran-ajaran manajemen dan bisnis tersebut:

  1. Untuk apa laba tinggi, yang diperkaya hanya segelintir orang. Untuk apa laba tinggi sementara alam dan budaya rusak.  Mereka hanya mendapatkan sungai yang kotor, banjir, penyakit, dan hilang sumber penghidupan sementara segelintir orang kaya itu enak-enak hidup mewah dan malah memanipulasi pajak.
  2. Leluhur mereka mengajarkan bahwa keberagaman adalah fondasi dasar ekosistem kehidupan yang sehat, seimbang, dan lestari. Hutan adat menyediakan beragam tanaman dan hewan yang hidup berdampingan dengan manusia secara timbal balik. Klaim keberlanjutan di atas sistem tanam satu jenis adalah pembodohan.
  3. Seberapapun besar dana-dana sosial perusahaan, tidak akan cukup mengganti kerusakan hutan adat yang selama ini mereka jaga kelestariannya. Itu tidak cukup juga mengganti rusaknya kekerabatan dan hilangnya ritual-ritual adat mereka. Hutan adat adalah kesatuan holistik dari kehidupan mereka mulai dari identitas budaya, tata kelola arif, ruang sosial, ritual adat, ruang ekonomi, bahkan politik. Kesatuan itu tidak pantas disederhanakan dengan kacamata kuda melalui aspek ekonomi saja dengan ganti rugi atau ganti untung.
  4. Bagi mereka, klaim negara dan perusahaan terkait pembukaan lapangan kerja adalah mitos. Apakah mereka yang adalah petani/nelayan tidak dianggap bekerja? Memangnya selama ini mereka menganggur? Apakah yang disebut bekerja harus menjadi buruh di perusahaan yang merampas tanah mereka sendiri? Organisasi Buruh Internasional sudah mengakui bahwa pekerjaan tradisional seperti petani adalah juga pekerjaan yang harus diakui dan dilindungi. Definisi tradisional bukan primitif atau jadul tetapi turun temurundengan kearifannya.
  5. Mereka menyatakan diri sebagai pemegang hak (rightsholder) bukan pemangku kepentingan dari perusahaan dan negara (stakeholders). Mereka punya hak atas wilayah adat yang sudah dikelola secara turun temurun dan lestari. Leluhur mereka hidup di wilayah itu jauh sebelum kerajaan-kerajaan, negara, dan perusahaan eksis di situ. Siapapun yang ingin masuk ke wilayah adat, mereka tuntut harus beretika dengan meminta izin terlebih dahulu. Mereka juga punya kedaulatan untuk menolak. Sebagai pemegang hak, mereka akan berjuang mempertahankannya supaya anak cucu sejahtera.
  6. Mereka punya pengetahuan dan kearifan adat turun-temurun untuk menjaga alam. Malah sekarang banyak pihak berseru bahwa Masyarakat Adat adalah salah satu harapan utama mengatasi krisis iklim.  Bagi mereka, jika ‘modern’ atau ‘maju’ adalah label-label untuk melestarikan eksploitasi dan penindasan, maka harus dilawan. Mereka juga belajar ilmu hukum kritis, pendidikan politik, ekonomi, dan banyak ilmu lainnya yang relevan untuk perjuangan mereka difasilitasi oleh banyak organisasi yang peduli, seperti AMAN, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan lain-lain. Negara dan para korporasi tidak perlu mendikte mereka tentang bekerja dan mengelola alam. Malah, negara, kampus, dan korporasi yang harus belajar dari mereka.

Menguatkan Hubungan Kampus dan Komunitas

Sungguh, setelah mendengarkan para pejuang tersebut dan menyaksikan situasi berat ruang hidup mereka di wilayah adat masing-masing, aku berpikir apa yang bisa dilakukan di Fakultas Bisnis tempatku mengajar. Secara khusus, aku kira perlu untuk mengulas kembali kurikulum manajemen dan bisnis kami tentang ilmu-ilmu merusak apa yang selama ini sudah diajarkan. Aku juga ingin melibatkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara untuk mengembangkan kurikulum manajemen dan bisnis yang didesain bersama untuk meruntuhkan ajaran-ajaran tersebut. Misalnya, mata kuliah Prinsip Bisnis atau Prinsip Manajemen atau Etika Bisnis dapat utamanya mengangkat pengetahuan dan kearifan Masyarakat Adat dalam mengelola tata ruang adat secara produktif, lestari, dan menyejahterakan semuanya. Buku-buku teks bisnis dari Amerika Serikat yang banyak dipakai dapat diganti dengan bacaan-bacaan yang dikembangkan bersama secara kontekstual dan kritis. Pengajar kelas-kelas pun dapat melibatkan para tokoh adat dan aktivis AMAN secara langsung dan terlibat mengevaluasi kelas untuk penilaian.

Kerjasama tersebut juga dapat mengembangkan materi-materi yang mendukung Ilmu Pulang, suatu ilmu yang dipromosikan oleh AMAN agar para pemuda adat kembali ke kampung masing-masing mempertahankan dan mengelola wilayah adat. Salah satu caranya adalah dengan bersama-sama mengembangkan silabus dan materi kewirausahaan sosial yang fokus pada pendirian dan pengembangan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat dan Koperasi Produksi untuk kemandirian ekonomi Komunitas Masyarakat Adat masing-masing. Pemikiran-pemikiran Bung Hatta tentang Koperasi dan Ekonomi Kerakyatan harus ditempatkan lagi di panggung utama diskusi di kelas tersebut dengan menjadikan buku-buku tulisan beliau sebagai referensi utama lagi.

Demikian refleksiku. Panjang umur perjuangan!