Kaltim.aman.or. dalam proses pemetaan yang wilayah adat yang sekarang kian gencar dilakukan oleh komunitas- komunitas adat memang perlu adanya pemahaman mengenai kebijakan tata ruang dan pengeloaan kawasan wilayah adat oleh msyarakat adat itu sendiri . hasil peta dan dokumentasi merupakan informasi penting dalam upaya pengakuan hak – hak masyarakat adat dan wilayah adatnya.
ketika proses dokumentasi berjalan bisa dilihat pola hubungan masyarakat adat dengan wilayahnya. Praktek konservasi ini akan terkait dengan kebijakan pengelolaan wilayah seperti rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten dan kota maupun provinsi, juga terkait dengan unit – unit pengelolaan kawasan hutan, seperti taman nasional, hutan lindung maupun hutan produksi dan areal budi daya.
Hal ini diungkapkan Yohanes dari Komunitas Adat Dayak Ga’ai di Desa Long Beluah, Kecamatan Tanjung Palas Barat, kabupaten Bulungan, Kaltara. Hal ini diungkapkan Yohanes Lihiu setelah mengikuti training Perencanaan Pengelolaan Wilayah Adat dan Pengelolaan Areal Konservasi Masyarakat di Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, kaltara (30/05-01/06/2017) oleh Working Group ICCAs Indonesia (WGII).
Menurut yohanes Lihiu “dengan berhasilnya kami membuat peta partisipatif wilayah adat, ini membuat kami sangat terbantu dalam pengakuan kami sebagai masyarakat adat beserta hak – hak kami, terlebih sistem pengelolaan dan kelestariannya dengan peta wilayah adat ini juga bagian warisan untuk genderasi secara turun – temurun baik golongan dan pelestarian peruntukkannya.”Papar Yohanes.
Yohanes juga menyampaikan ketika bertemu dengan rekan – rekan sepelatihan baru diketahui bahwa banyak komunitas – komunitas adat di kaltara khusunya di Kabupaten bulungan belum melakukan Pemetaan Partisifatif Wilayah Adat sehingga harus terlebih dahulu melakukan pemetaan agar bisa menetukan tata ruang pengelolaan wilayah adatnya. Perencanaan pengelolaan wilayah adat sendiri akan mudah dilakukan setelah adanya pemetaan wilayah yang terverifikasi.
Terkait t Taining Perencanaan Pengelolaan Wilayah Adat dan Pengelolaan Areal Konservasi Masyarakat oleh WGII sebagai respon perubahan (revisi) UU Konservasi No. 5/1990 menjadi RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (RUU KKHE) oleh Kementerian LHK dan DPR RI yang dilakukan secara bersamaan.
Working Group ICCAs Indonesia (WGII) sebagai kelompok kerja yang peduli pada praktek konservasi oleh masyarakat telah melakukan serangkaian kegiatan yang bertujuan pada pengakuan dan perlindungan areal konservasi yang disebut ICCAs (Indigenous Peoples Communities Conserved Areas) atau di dalam RUU KKHE disebut dengan Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM).
Kajian terhadap draft RUU dan dialog dengan Komisi IV DPR RI telah dilakukan untuk memasukkan norma hukum dalam RUU KKHE yang intinya pada pengakuan masyarakat sebagai salah satu subyek dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia dan AKKM diakui serta dilindungi keberadaannya di kawasan hutan maupun di areal penggunaan lain.
Pelaksanaan UU Desa telah memberikan kesempatan kepada desa untuk menyusun perencanaan desa dengan dukungan dana desa yang bersumber dari APBN, sehingga ini menjadi kesempatan masyarakat adat dalam mengusulkan hasil perencanaan wilayah adat.
Pemetaan wilayah adat dan dokumentasi AKKM telah dilakukan dan masih berjalan hingga saat ini. Peta wilayah adat dan dokumentasi AKKM menjadi informasi penting kaitannya dengan upaya pengakuan hak-hak masyarakat adat dan wilayah adatnya, termasuk penetapan hutan adat.
Dalam proses dokumentasi tersebut terlihat bagaimana pola hubungan masyarakat adat/lokal dengan wilayahnya. Praktik konservasi ini terkait dengan kebijakan perencanaan pengelolaan wilayah seperti rencana tata ruang wilayah (RTRW) di kabupaten/kota maupun provinsi, juga terkait dengan unit-unit pengelolaan kawasan hutan, seperti taman nasional, hutan lindung maupun hutan produksi dan areal budidaya.
masyarakat adat/lokal yang memiliki perhatian pada upaya pengelolaan wilayah adat/lokal untuk masa depan, serta konservasi wilayah dan perlindungan wilayah, memerlukan pemahaman terkait dengan kebijakan penataan ruang, aturan pengelolaan kawasan konservasi, pemahaman dan keterampilan penyusunan rencana pengelolaan wilayah adat, hutan adat maupun areal konservasi. Untuk pembelajaran hal tersebut di atas, WGII bermaksud menyelenggarakan training Perencanaan Pengelolaan Wilayah Adat, Hutan Adat dan Areal Konservasi Kelola Masyarakat.
Tata ruang adalah suatu penetapan atau penyusunan penggunaan lahan di wilayah tertentu (propinsi, kabupaten) yang dialokasikan sesuai fungsi lahan (perlindungan, pertanian/budidaya, produksi) dengan mempertimbangkan kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial agar dapat merencanakan pembangunan daerah yang paling tepat dan memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat di masa depan.